"Mekanisme pendanaan seperti itu harusnya jadi hal utama dalam mendukung transisi, kendalinya ada di pemerintah," sambungnya.
Senada, Peneliti Energi Institute of Energy Economic anf Financial Analysis Putra Adhiguna juga pesimistis jika dana JETP tersebut bisa memenuhi target. Dia bahkan berujar Indonesia mesti memiliki dana hingga Rp500 triliun untuk mencapai bauran EBT 23% hingga 2025.
"Tetapi ini bisa membantu menggulirkan infrastruktur awal. Jadi JETP ini sebenarnya adalah komitmen-komitmen di awal yang bisa menggulirkan bolanya," ujar dia.
JETP merupakan mekanisme pendanaan program transisi energi Indonesia yang diluncurkan di sela G20 di Bali, pada November 2022. Melalui program ini, koalisi negara-negara maju akan memobilisasi dana hibah dan pinjaman lunak senilai US$20 miliar selama periode 3—5 tahun.
Program ini melibatkan kelompok negara yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) dan Jepang, serta beranggotakan Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Prancis, Norwegia, Italia, dan Inggris.
Adapun salah satu program prioritas dari JETP itu adalah pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara di Indonesia. Terkait dengan itu, dana JETP nantinya akan langsung disalurkan ke perusahaan yang menjalankan program itu atau dikelola oleh pemerintah melalui lewat PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau SMI.
Di sisi lain, pemerintah sendiri juga telah menargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025. Namun demikian, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan jika realisasi bauran EBT di Tanah Air masih jauh dari harapan. Bahkan, dia mengatakan jika Indonesia—yang memiliki sumber daya banyak—masih kalah jauh dari Singapura.
"Sekarang ini kita baru [merealisasikan] 12,5%, padahal tinggal 2 tahun lagi. Apa yang harus kita lakukan? [Apalagi], kita juga punya target turunkan gas rumah kaca,” ujarnya di sela Solar Summit 2023, belum lama ini.
(ain)