Logo Bloomberg Technoz

Berdasarkan hasil survei literasi finansial termutakhir yang digelar oleh Otoritas Jasa Keuangan, masih ada gap atau kesenjangan yang cukup lebar antara akses terhadap produk keuangan, termasuk pinjaman paylater, dengan literasi atau pemahaman yang memadai tentang produk keuangan tersebut. Gap-nya mencapai 35,42% pada 2022 di mana indeks literasi keuangan berada di angka 49,68%, sementara indeks inklusi (akses) keuangan ada di angka 85,15%.

Kesenjangan antara inklusi keuangan dengan literasi finansial di Indonesia sering menjadi pangkal kasus investasi (Div. Riset Bloomberg Technoz)

Ini yang menjelaskan mengapa ada Gen Z yang bahkan sengaja memakai Paylater untuk membantu mengatur arus kas setiap bulan.

"Saya memilih Paylater karena bisa mengatur jumlah pengeluaran. Misalnya bisa membayar saat gajian," kata Shinta Angriana, pekerja muda di Jakarta Selatan yang memakai Paylater. 

Berdasarkan kamus acuan perencanaan keuangan, pengaturan cashflow justru harus berhati-hati dengan beban cicilan utang di mana batas maksimal beban cicilan utang (debt to service ratio) tidak boleh melampaui 30% dari total pendapatan rutin. Utang lazimnya menjadi pilihan terakhir ketika tidak ada sumber dana lain yang bisa diakses, terlebih utang berbiaya mahal seperti Paylater yang bunganya bisa mencapai 2,95% per bulan.

"Literasi finansial kita masih kurang. Kita berkonsentrasi tentang bagaimana kelola uang termasuk utang akan tetapi tidak dibarengi kecerdasan finansial yang cukup. Saya yakin Gen Z bukan tidak bisa bayar akan tetapi cenderung meremehkan [tunggakan utang] karena jumlahnya tidak besar. Masalahnya, Gen Z tidak tahu bahwa hal remeh itu mempengaruhi riwayat kredit ke depan," komentar Eko Endarto, Perencana Keuangan Finansia Consulting.

Di Indonesia, pebelanja online di marketplace terlihat semakin menyukai pembayaran memakai Paylater bahkan dibandingkan pembayaran melalui transfer bank, berdasarkan riset KIC dengan perusahaan penyedia Paylater Kredivo.

Tahun lalu, baru 28,2% pebelanja online yang memakai pembayaran tunda memakai utang itu. Sementara pada 2023, angkanya naik menjadi 45,9%.

Hasil riset yang sama menyebut, Paylater bahkan menjadi produk pinjaman pertama yang mereka akses, sebelum kartu kredit dan produk pinjaman lain. Paylater banyak digunakan untuk berbelanja barang, tagihan bulanan dan pembelian pulsa serta paket internet.

Responden riset juga memakai Paylater untuk berbelanja kebutuhan bulanan dengan cicilan tenor pendek, bukan lagi untuk menutup kebutuhan mendadak.

Fenomena Gen Z menyukai utang dan akhirnya terbenam di dalamnya, bukan cuma terjadi di Indonesia. Laporan perusahaan personal finance yang berbasis di Amerika, Credit Karma, pada Maret 2023 lalu menyebut, Gen Z menumpuk utang kartu kredit lebih cepat dibandingkan Gen Y alias milenial. 

Gen Z di Amerika mencatat pertumbuhan utang tercepat sampai 6% dengan nilai utang mencapai hampir US$3.000 pada kuartal keempat tahun lalu. Laju kenaikan utang tertinggi oleh Gen Z juga terlihat dalam angka pengumpulan iuran tahunan kartu kredit yang menembus US$16.283 selama kuartal terakhir 2022.

Bukan cuma itu, demikian menurut laporan Credit Karma, Gen Z juga mencatat kenaikan tunggakan utang terbesar mulai dari tunggakan cicilan kartu kredit, KPR, pinjaman sekolah (student loan), pinjaman medis, dan lain-lain, melampaui 30 hari dari tanggal jatuh tempo. 

Survei yang pernah digelar oleh Piplsay, dikutip dari Elle, sebanyak 43% Gen Z tercatat pernah telat bayar cicilan utang Paylater setidaknya satu kali pada 2021. Kebanyakan Gen Z juga terlihat semakin akrab dengan layanan Paylater selama pandemi yang memaksa orang berdiam di rumah. 

Generasi Cashless

Gen Z yang dilahirkan antara tahun 1997 sampai 2012, dibesarkan di tengah booming fintech di mana transaksi pembayaran otomatis serta transaksi nontunai adalah hal normal dan menjadi kebiasaan sehari-hari.

Memegang uang tunai dalam jumlah besar seperti yang masih banyak dilakukan Gen Y dan Gen X apalagi Boomer, menjadi hal asing bagi generasi lebih muda itu. 

Ditambah gaya hidup belanja online yang semakin mendekatkan 'godaan' konsumsi di ujung jari, membuat aplikasi pembayaran berbasis pinjaman seperti Paylater laris manis diserbu dan menjadi kenormalan baru. Utang bukan lagi hal tabu.

"Gen Z perlu belajar bagaimana dalam berutang pun ada strategi dan harus pintar serta perlu memahami risikonya apa saja. Penting sekali untuk memahami credit scoring," imbuh Eko. 

Menurut Prita Ghozie, perencana keuangan dari ZAP Finance, utang tidak selamanya buruk. Utang bisa menjadi hal baik bila digunakan untuk membantu meningkatkan produktivitas dan memberi nilai tambah, juga memperbanyak aset.

Akan tetapi, bila digunakan sekadar untuk membeli barang konsumtif yang tidak berpotensi tumbuh atau memberi nilai tambah ke depan, maka utang sebaiknya dihindari.

"Utang boleh digunakan untuk pembelian aset [barang] konsumsi selama aset tersebut digunakan dalam jangka waktu di atas 5 tahun," kata Prita seperti dikutip dalam blog-nya.

Utang dalam hal ini seperti pinjaman dari kartu kredit, juga termasuk pinjaman memakai aplikasi Paylater. 

Selain itu, besar cicilan utang dari semua jenis utang tidak boleh melampaui 30% dari total pendapatan. Jadi, bila seseorang memiliki pendapatan rutin bulanan Rp6 juta, maka beban cicilan yang boleh ia tanggung agar keuangan tetap sehat, tidak boleh melampaui Rp2 juta per bulan. Lebih kecil nilai tanggungan cicilan utang, akan lebih aman bagi kesehatan arus kas.

Paylater termasuk utang konsumtif yang sebaiknya dihindari karena penggunaannya tidak memberikan nilai manfaat yang lebih lama. Ini berbeda dengan KPR, misalnya, yang walaupun termasuk kategori kredit konsumsi akan tetapi nilai rumah dan tanah dalam jangka panjang masih ada peluang kenaikan.

Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi mengatakan banyak anak muda gagal mengajukan kredit pemilikan rumah karena belum menyelesaikan kewajiban atau tunggakannya pada perusahaan PayLater.

“PayLater sudah masuk ke SLIK kita [OJK]. PayLater ini sudah nyata banget. Beberapa bank mengeluhkan, tanda kutip, ke kami ini anak-anak muda banyak yang harusnya mengajukan KPR rumah pertama, yang lebih penting kan rumah, tapi nggak bisa karena ada utang di PayLater. Itu kadang hanya Rp300.000-400.000 tapi kemudian kredit skor jelek,” jelas Kiki di Jakarta, Jumat (18/8/2023).

Pihak OJK juga berpesan kepada masyarakat muda untuk berhati-hati akan hal tersebut. Implementasi PayLater harus diketahui skemanya dan disiplin dalam membayar. Bahkan meski sudah melakukan pelunasan dan menutup akun PayLater, skor kredit tidak secara langsung membaik.

(rui)

No more pages