Di sisi lain, RI menganut rezim devisa bebas, yang berarti perusahaan China berhak membawa semua hasil ekspornya ke negara mereka sendiri.
Faisal mengungkapkan, nilai tambah dari pertumbuhan ekonomi berasal dari penjumlahan nilai tambah penciptaan dari semua sektor.
Ia mencontohkan nikel yang diolah dari bijih nikel dengan nilai 10 menjadi feronikel nilainya menjadi 60. Namun, nilai tambah 50 tersebut bukan dinikmati Indonesia, melainkan China.
“Yang jadi pertumbuhan Indonesia adalah nilai tambah yang dinikmati oleh Indonesia kan. Kalau nilai tambah yang dinikmati oleh China ya itu jatahnya China,” kata Faisal Basri.
Baca Juga: Data Jokowi Soal Penghiliran Nikel Menyesatkan
Modal yang berasal dari luar negeri, akan kembali dan tidak tersisa, termasuk hasil laba para pengelola program hilirisasi dari pemerintah Presiden Joko Widodo.
“Labanya lari ke China, hak China jadinya. Sebagian besar hampir 100%. Modalnya dari bank, banknya bank China, lari 100% ke China, teknologi dari China, lari 100% ke China juga. Indonesia dapat apa? Ada, mulai sekarang ada bank nasional masuk tapi kecil sekali tidak sampai 10%. Saya juga sadar sudah mulai, tapi sebagian besar lebih dari 90% ke China semua,” jelas Faisal Basri.
Faisal Basri mengakui hasil hilirisasi tidak hanya dinikmati pemodal dan pengusaha. Nilai tambah atas banyaknya program hilirisasi juga menghampiri buruh, namun jumlahnya sangat kecil. Itu juga masih dibagi dengan pekerja asal China.
“Buruhnya ada buruh Indonesia dan China. Buruh Indonesia masuk ke Indonesia tapi kan nilainya kecil sekali,” Faisal Basri yang juga menambahkan fakta ini membuat realisasi hilirisasi tidak menyumbang signifikan pada pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
“90% nilai tambah dinikmati oleh China, itu konsep ekonomi. Kalau mengharu birunya nikel itu betul-betul dahsyat maka pertumbuhan ekonomi bisa terdongkrak,” papar dia.
Baca Juga: Jokowi Ogah RI Seperti Zaman VOC
Menurut dia, sejatinya peran industri dapat semakin besar namun kenyataan di lapangan sektor terus menurun. Nilai ekspor yang melonjak juga tidak berdampak signifikan terhadap rupiah. Pasalnya hasil devisa kembali dibawa pulang ke negara asal pemodal.
“Ekspor melonjak tidak nendang ke rupiah [penguatan kurs] karena mereka bawa pulang, hak mereka,” tegas Faisal Basri. Hal ini terjadi karena Indonesia menganut rezim devisa bebas. “Tidak ada aturan harus menaruh di Indonesia.”
Kritik pada akar permasalahan
Faisal Basri jadi salah satu yang paling vokal terhadap program ekonomi pemerintah, khususnya menyoal hilirisasi. Smelter nikel yang dikuasai China, bagi dia adalah bentuk kritik perumusan kebijakan. Bukan mendikotomi kelompok tertentu.
“Amat jelas bahwa yang dimaksud adalah China sebagai entitas negara. Jadi tidak ada terkandung sentimen ras sama sekali. China dalam objek tulisan ini bukan saudara kita sebangsa setanah air yang beretnis Tionghoa. Tak sedikit pengelola tambang bijih nikel adalah saudara kita yang kebetulan etnis Tionghoa, bahkan beberapa di antaranya merupakan sahabat saya,” papar Faisal menjawab argumentasi dari Yustinus Prastowo dan Hario Seto.
Kritik atas perumusan kebijakan, bagi Faisal Basri, demi menerapkan prinsip keadilan dan mendukung terciptakan kemakmuran masyarakat.
“Kepentingan nasional yang hakiki menjadi acuan. Sebagai negara berdaulat kita tidak sudi diintervensi oleh pihak luar. Namun, kita menentang nasionalisme sebagai kedok untuk membungkus kepentingan pribadi atau vested interest atau kepentingan golongan atau kelompok tertentu,” papar dia.
Presiden Jokowi kerap menyatakan hilirisasi adalah kunci kemajuan Indonesia. Pasalnya Indonesia meninggalkan kebiasaan mengekspor bahan mentah tanpa proses. Sejak pendudukan VOC Belanda lebih dari 400 tahun, Jokowi sebut Indonesia hingga saat ini selalu mengekspor bahan mentah.
"Kirim bahan mentah, kirim bahan mentah, ya kita dapat, dapat uang tapi sangat kecil sekali," kata Jokowi di Medan, Sabtu kemarin. Jokowi menegaskan program hilirisasi memberikan nilai tambah, dan ujungnya memperbesar penghasilan negara. Ia selalu memberi contoh peningkatan nilai ekspor bahan mentah nikel US$2,1 miliar kemudian naik menjadi U$33,8 miliar.
"Begitu hilirisasi menjadi Rp510 triliun, kurang lebih, lompatannya berapa kali?" ucap dia. Jokowi menambahkan, "sebelum hilirisasi kesempatan kerja—pembukaan lapangan kerja ada di negara lain, setelah hiliriasi lapangan kerja terbuka di dalam negeri. Karena, negara dari nikel itu sekali lagi dapat PPN—Pajak Pertambahan Nilai, dapat PPH perusahaan, dapat PPH karyawan, dapat royalti, dapat penerimaan negara bukan pajak, dapat bea ekspor."
Meski data yang disampaikan dibantah oleh Faisal Basri, dan menyebut pernyataan Jokowi data penghiliran nikel nenyesatkan.
(mfd/wep)