“[Rasio] Credit to GDP (Gross Domestic Product) stuck di level yang lebih rendah, 30% bahkan. Pinjaman dari kredit perbankan untuk sektor swasta hanya 30%” jelas Faisal Basri, yang juga menyatakan jika membandingkan dengan negara tetangga rasionya di atas 100%.
Hal ini menjadi penanda tren perlambatan pertumbuhan ekonomi terus saja terjadi selama pemerintahan Jokowi. “Jadi memang ekonomi ini larinya tidak bisa semakin cepat karena tenaganya dari sektor swasta kan sebetulnya. Tenaganya sektor swasta ditopang perbankan nasional. Sementara perbankan nasional hanya mampu menyalurkan kredit sekitar 30% saja dari PDB,” cerita dia.
Alasan kedua, lanjut Faisal Basri adalah pertumbuhan belanja negara mayoritas digunakan untuk dua hal diantaranya belajar pegawai atau gaji dan pembayaran bunga. Sementara belanja dari sisi capital expenditure (capex) rendah. “Capex-nya itu relatif rendah sepanjang periode pak Jokowi, tidak sampai dua kali lipat,” tutur dia.
Menurutu Faisal Basri belanja capex bisa menjadi sumber pertumbuhan konsumsi pemerintah. Sementara porsi yang dialokasikan relatif sangat kecil.
“Jadi belanja pemerintah pusat itu untuk belanja pegawai, belanja bayar bunga, belanja barang, baru capex,” pungkas Faisal Basri.
Berdasarkan catatan data, pada periode pertama pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga berada di level stagnan, 5% bahkan pada 2015 menyentuh angka 4,79% efek kebijakan baru subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Capaian selama ini mengindikasikan bertentangan dengan target ambisius Presiden Joko Widodo di awal berkuasa yang membidik raihan 7%.
Sebelumnya dalam nota keuangan tahun 2024 pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi pada 2024 sebesar 5,2%, bahkan lebih rendah dari target capaian tahun ini 5,3%. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beralasan proyeksi yang lebih rendah dengan pertimbangan kondisi eksternal yang diprediksi masih bergejolak.
Sri Mulyani menegaskan bahwa kondisi ketegangan geopolitik antara China dan Amerika Serikat juga diperkirakan akan mempengarhui kondisi perdagangan global, terlebih lagi jika muncul kebijakan proteksionisme yang semakin mendisrupsi rantai pasokan global.
(wep)