Kendati demikian, menurutnya, kebijakan pembenahan transportasi umum seharusnya tidak hanya diterapkan di Jakarta, tetap di kota-kota penyangga seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok (Bodetabek).
Selama ini, kota penyangga tersebut belum melakukan pembenahan, bahkan Bus Trans Pakuan baru beroperasi di Kota Bogor. Sementara itu, terdapat ribuan kawasan perumahan yang tersebar di Bodetabek yang masih minim tersentuh layanan transportasi umum.
Menurut Djoko, kondisi tersebut makin diperburuk dengan sudah tidak diberlakukannya kebijakan satu paket pembangunan kawasan perumahan dan layanan fasilitas angkutan umum.
Akibatnya, masyarakat yang tinggal di daerah penyangga terpaksa membeli kendaraan pribadi untuk memudahkan mobilitas, khususnya ketika pergi ke Jakarta. Beban hidup masyarakat pun bertambah karena penghasilan setiap bulan digunakan tidak hanya untuk mengangsur cicilan rumah namun juga untuk kendaraan pribadi.
Pemerintah, padahal, memiliki bukti nyata bagaimana pembenahan terhadap transportasi umum dapat meningkatkan minat masyarakat untuk meninggalkan kendaraan pribadi.
Belajar dari KRL Jabodetabek, pembenahan terhadap seluruh aspek transportasi tersebut diklaim berhasil meningkatkan jumlah penumpang hingga 1,1 juta penumpang pada 2018. Sebelum 2013, transportasi tersebut hanya mampu mengangkut rata-rata 350 penumpang per hari karena kualitas pelayanan yang buruk.
“Pembenahan yang berarti sangat nampak sekali, seperti ketepatan jadwal keberangkatan, semua kereta singgah di stasiun, tarif lebih murah, pelayanan makin bagus, stasiun bersih dan bebas pedagang kaki lima, sterilisasi stasiun, sistem pembayaran dipermudah, tidak ada antrean pembelian tiket, jarak keberangkatan antarkereta makin pendek, informasi jadwal singgah kereta mudah didapat [integrasi jadwal], integrasi fisik terjadi di setiap stasiun, ada jaminan keamanan selama perjalanan, penumpang di atap kereta sudah hilang, kondisi kebersihan kereta terjamin bersih, jika ada keluhan penumpang segera ditanggapi, pelayanan terhadap disabilitas terus ditingkatkan,” terangnya.
Anggaran untuk Mengatasi Polusi Udara di Jakarta
Djoko menilai pemerintah memiliki anggaran yang cukup untuk mengatasi polusi udara di perkotaan, khususnya Jakarta. Misalnya, Kementerian Perindustrian memiliki skema insentif kendaraan listrik untuk 2023 dan 2024 senilai Rp12,3 triliun. Insentif itu dialokasikan sebanyak Rp5,6 triliun untuk 800.000 unit motor listrik, Rp6,5 triliun untuk 143.449 unit mobil listrik, dan Rp192 miliar untuk pembelian 552 unit bus listrik.
Bila diperinci, terdapat Insentif sepeda motor listrik pada 2023 dengan nilai Rp1,4 triliun untuk 200.000 unit dan 2024 sejumlah Rp4,2 triliun untuk 600.000 unit.
Sementara itu, insentif mobil listrik pada 2023 dijatah Rp1,6 triliun untuk 35.862 unit dan 2024 senilai Rp4,9 triliun untuk 107.587 unit. Terakhir, insentif pembelian bus listrik pada 2023 dialokasikan Rp48 miliar untuk 138 unit dan 2024 sebanyak Rp144 miliar untuk 414 unit.
Namun, Djoko menekankan, pemberian insentif kendaraan listrik untuk kendaraan pribadi juga harus beriringan dengan pembenahan transportasi umum. Berbagai negara lain yang juga menerapkan pemberian subsidi kendaraan listrik telah melakukan pembenahan terhadap transportasi umum. Dengan demikian, anggaran untuk insentif kendaraan listrik tidak akan menyerang balik pemerintah dengan adanya masalah baru, yakni kemacetan lalu lintas.
Kurang Koordinasi
Di lain sisi, Djoko berpendapat isu kurangnya koordinasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Dalam Negeri dalam membuat kebijakan untuk menyelesaikan persoalan polusi udara perkotaan tidak pernah tuntas.
“Masing-masing kementerian bergerak dengan caranya sendiri tanpa memperhatikan data dan fakta yang sebenarnya terjadi. Akhirnya, anggaran negara menjadi tidak tepat sasaran,” tutupnya.
Untuk diketahui, per akhir pekan ini, permasalahan polusi udara masih menghantui negara ini. Bahkan, Jakarta hari ini kembali bertengger di posisi teratas sebagai kota berkualitas udara terburuk di dunia.
Berdasarkan pemeringkatan IQ Air per Sabtu (19/8/2023) pagi, pukul 10:00, indeks kualitas udara Jakarta mencapai 156. Capaian itu terburuk di dunia, mengungguli Lahore, Pakistan di posisi kedua dengan 139 dan Baghdad, Irak di posisi ketiga dengan 134.
Kualitas udara Jakarta pada hari ini, menurut IQ Air, masih berada di level “tidak sehat”. Adapun, konsentrasi PM2.5 di Jakarta saat ini telah meningkat 13,2 kali lipat dari panduan kualitas udara tahunan dari Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), particulate matter atau PM2.5 merupakan partikel udara yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2.5 µm (mikrometer). Pengukuran konsentrasi PM2.5 menggunakan metode penyinaran sinar Beta (Beta Attenuation Monitoring) dengan satuan mikrogram per meter kubik (µm/m3).
(dov/wdh)