Berdasarkan perhitungan DMSI dengan acuan harga minyak kelapa sawit pada awal Februari 2023, produsen minyak kelapa sawit harus menanggung selisih Rp2.641/liter untuk minyak goreng curah.
Sementara itu, untuk Minyakita, selisih yang ditanggung melonjak hingga Rp4.041/liter.
Produsen tidak bergairah untuk ekspor, tidak juga menyalurkan ke dalam negeri karena tidak ada untungnya.
Sahat Sinaga
Selain menurunnya permintaan ekspor dan harga, produsen minyak kelapa sawit harus menelan pil pahit lantaran pemerintah mengubah aturan rasio ekspor. Rasio ekspor minyak kelapa sawit per 1 Februari 2023 berubah dari satu banding sembilan ke satu banding enam.
"Persoalan lainnya, produsen ini punya tunggakan ekspor hingga 6 juta ton sampai sekarang. Karena permintaan di luar negeri menurun akibat resesi, ini yang juga tidak diperhitungkan," ungkap Sahat.
Sahat menambahkan apabila pemerintah tidak merealisasikan permintaan produsen minyak kelapa sawit, maka pasokan minyak goreng curah dan Minyakita ikut terancam.
Penyebabnya, mereka memilih untuk menahan stok sampai dengan harga minyak kelapa sawit global seperti yang diinginkan.
"Produsen tidak bergairah untuk ekspor, tidak juga menyalurkan ke dalam negeri karena tidak ada untungnya. Kelangkaan yang terjadi selama ini juga karena mereka memang tidak produksi [minyak goreng curah dan Minyakita] daripada merugi," tuturnya.
Pemerintah mengenakan bea keluar minyak kelapa sawit sebesar US$52/ton dan US$90/ton untuk pungutan ekspor. Besaran bea keluar dan pungutan ekspor tersebut berlaku untuk periode 1—15 Februari 2023.
Besaran bea keluar minyak kelapa sawit untuk periode tersebut merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 154/PMK.05/2022. Sementara itu, untuk pungutan ekspor besarannya mengacu pada PMK No. 154/PMK.05/2022.
(rez/wdh)