Presiden ECB Christine Lagarde menegaskan pengetatan moneter paling agresif dalam sejarah ECB itu belum selesai. Dalam keterangan tertulis, Dewan ECB berniat menaikkan bunga 50 bps lagi pada Maret nanti, baru setelahnya mereka akan mengevaluasi arah kebijakan moneter.
Anggota Dewan ECB Francois Villeroy de Galhau menilai, ECB tidak perlu kembali ke rezim bunga super rendah seiring inflasi yang akan diperkirakan akan bertahan di angka 2%. "Secara pribadi saya percaya bahwa begitu kami berhasil melawan inflasi dan kembali ke 2%, itu akan menjadi rezim inflasi baru yang mungkin lebih mendekati target kami," jelas Gubernur Bank Sentral Prancis ini, seperti dikutip Bloomberg News.
Negara-negara di Asia dan ASEAN juga tidak kalis dari tren bunga tinggi itu. Inflasi yang tinggi dan tekanan dari kenaikan bunga acuan global memaksa bank sentral menerapkan pengetatan moneter untuk menjinakkan harga dan mempertahankan selisih positif dengan imbal hasil US Treasury. Di Filipina misalnya, tekanan inflasi makin ganas hingga ke level tertinggi dalam 14 tahun terakhir pada Januari 2023 di posisi 8,7%, melampaui perkiraan para analis dan bank sentral negeri itu.
Data terakhir Filipina itu akan mendorong lagi otoritas moneter Filipina untuk kembali ke jalur pengetatan moneter, setelah sebelumnya sempat terlontar sinyal menahan bunga di level saat ini yaitu 5,5%.
Sedangkan India diprediksi akan menaikkan sekali lagi bunga acuannya ke posisi 6,5% seiring semakin melandainya tekanan inflasi dan melemahnya pertumbuhan ekonomi Negeri Bollywood. Sebanyak 34 dari 40 ekonom yang disurvei oleh Bloomberg, memperkirakan Reserve Bank of India akan mengerek 25 bps pada pertemuan hari Rabu (8/2/2023) dan mempertahankannya di level itu.
Nasib Rupiah
Kebijakan pengetatan moneter yang terus berlangsung terutama di kawasan-kawasan ekonomi utama dunia bisa memberi tekanan pada nilai tukar rupiah. Pergerakan nilai tukar rupiah terus melemah dalam beberapa hari terakhir setelah sempat menguat ke kisaran Rp 14.000-an pekan lalu.
Otot rupiah tak berdaya menghadapi kuatnya dolar AS kendati dari dalam negeri ada banyak kabar positif seperti data Produk Domestik Bruto 2022 yang melampaui ekspektasi dan nilai cadangan devisa yang mencapai level tertinggi dalam 11 bulan terakhir. Kurs JISDOR Bank Indonesia (BI) pada Selasa pukul 16.12 WIB bertengger di posisi Rp 15.139 per dolar AS, melemah tipis dari posisi hari sebelumnya di Rp 15.055.
Sampai kapan tren bunga tinggi ini akan berlangsung?
Faisal Rachman, Chief Economist PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), memprediksi, tren kenaikan bunga acuan The Federal Reserves kemungkinan akan memuncak pada akhir semester 1-2023. “Meski sebagian bank sentral utama di dunia cenderung untuk mempertahankan kebijakan bunga tinggi dalam waktu lama supaya inflasi bisa dijinakkan, kami melihat puncak kenaikan bunga akan terjadi pada akhir paruh pertama tahun ini,” jelas Faisal.
Walau data pasar tenaga kerja di AS masih memperlihatkan pengetatan, laju The Fed dalam mengerek bunga acuan akan lebih pelan dan tidak lagi seagresif tahun lalu. Analisis David Sumual, Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), The Fed kemungkinan masih akan menaikkan dalam level terbatas maksimal dua kali lagi.
"Bahkan bisa saja kenaikan bunga The Fed tinggal satu kali lagi karena data terbaru juga memperlihatkan indeks manufaktur dan ritel tidak kuat. Ada kerentanan juga di sektor perbankan terutama untuk belanja rumah tangga, angka tabungan di AS terus turun ditambah kenaikan angka kredit bermasalah," jelas David pada Bloomberg Technoz.
Laporan terpisah dari Institute for Supply Management menunjukkan Purchasing Manager Index (PMI) negeri paman sam di sektor manufaktur makin terbenam di zona kontraksi di level 47,4 pada Januari dari posisi 48,4 pada bulan sebelumnya. Ini merupakan penurunan dalam tiga bulan berturut-turut dan menjadi level terendah sejak Mei 2020.
Berbagai indikasi itu memperlihatkan perekonomian AS sudah mulai menghadapi efek pengetatan moneter sehingga bila The Fed berlanjut hawkish hingga ke puncak melampaui ekspektasi sebelumnya, itu bisa buruk efeknya bagi perekonomian AS. Maka itu, sentimen pasar tenaga kerja mungkin masih akan mendorong The Fed mengerek bunga, akan tetapi dalam tingkat yang lebih rendah.
Arah bunga The Fed (FFR) sangat mempengaruhi pasar keuangan global karena menentukan suplai dolar AS di pasar dunia yang masih sangat dollar-minded. Faisal optimistis rezim bunga tinggi global yang dimotori oleh AS tidak begitu saja membuat rupiah tersungkur tahun ini. Perkembangan ekonomi domestik masih bisa memberi amunisi bagi otot rupiah.
Secara year-to-date, rupiah masih menguat walau gejolak di pasar global kini meningkat akibat ketatnya pasar tenaga kerja AS, menurut Faisal. Ia memprediksi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada akhir tahun ini akan berada di kisaran Rp 15.200-Rp15.300. "Jadi, bila melihat perkembangan kondisi saat ini, masih in line," jelasnya.
(rui)