“Total produksi bijih bauksit kita 27 juta ton/tahun. Sekarang dengan adanya pelarangan [ekspor], tinggal 4 refinery. Mereka [investor pengolahan bauksit] kan ikut pasar. Kalau pada kelebihan stok bijih bauksit, tidak ada yang beli, ya mereka akan ikuti siklus itu,” terang Irwandy.
Penutupan Tambang
Sampai saat ini, lanjutnya, Kementerian ESDM belum menerima laporan adanya tambang bauksit yang tutup akibat pelarangan ekspor washed bauxite. Meski demikian, produksi tercatat mulai menurun di bawah 27 juta ton, menurut pemetaan kementerian.
Kementerian ESDM tidak menampik bahwa, pelarangan ekspor bauksit setengah jadi akan memangkas pendapatan negara dan kehilangan kesempatan kerja di pertambangan. Namun, dari fasilitas pemurnian yang telah beroperasi, terdapat nilai tambah bijih bauksit sebesar US$1,9 miliar, sehingga pemerintah masih mendapatkan manfaat bersih sejumlah US$1,5 miliar dan lapangan pekerjaan untuk 7.627 orang.
Menurut catatan kementerian, terdapat risiko pengurangan ekspor bauksit pada 2023 sampai dengan ± 8,09 juta ton atau setara dengan ± US$288,52 juta. Pada 2024, terdapat bauksit yang tidak diserap dalam negeri sebesar ± 13,86 juta ton atau setara dengan nilai ekspor ± US$494,6 juta.
Adapun, akibat pelarangan ekspor tersebut, penurunan penerimaan negara dari royalti bauksit diperkirakan mencapai senilai US$49,6 juta. Sementara itu, tenaga kerja sebanyak 1.019 orang untuk kegiatan produksi maupun penjualan berpotensi tidak dapat bekerja.
Namun, dengan terdapatnya empat smelter eksisting, pemerintah memperhitungkan terdapat peningkatan nilai tambah dari penghiliran bauksit sebesar US$1,9 miliar untuk ekspor dan 8.646 orang untuk serapan tenaga kerja.
(wdh)