Lebih lanjut, dia berharap aturan pembiayaan berkelanjutan itu akan disesuaikan dengan jadwal rencana pembentukan Komite Nasional Pembiayaan Berkelanjutan, seperti diamanatkan oleh Undang-Undang No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
“Komite itu rumusan keanggotaannya atau strukturnya sedang difinalisasi dalam peraturan pemerintah. Itu aspek pengorganisasian dan perangkat kerjanya. Di lain pihak, kami fokus untuk aspek substansinya yang terkait dengan OJK,” kata Mahendra.
Sekadar catatan, menurut Kementerian Keuangan, total kebutuhan Indonesia untuk pendanaan transisi energi menembus Rp4.002 triliun atau sekitar US$281 miliar sampai dengan 2030.
Nilai tersebut dibutuhkan untuk mencapai komitmen kontribusi negara atau nationally determined contribution (NDC) terhadap misi mencapai emisi nol karbon atau net zero emission (NZE) sesuai Paris Agreement yaitu pada 2060 atau lebih cepat.
Namun, Mahendra tidak menampik target pensiun dini PLTU di Indonesia ditantang oleh kesulitan pendanaan dari lembaga keuangan.
“Benar itu, [bank] enggak mau ngucurin dana buat pemadaman PLTU, karena terus terang ada pertanyaan. Di satu sisi, dunia internasional berhadap pembiayaan terhadap transisi energi dari berbasis fosil ke terbarukan itu menjadi prioritas. Namun, realitasnya di tingkat global, bank-bank dan lembaga internasional enggan memberikan pendanaan ke PLTU karena dianggap bidang berbasis fosil, walaupun maksudnya adalah untuk transisi,” ujarnya.
(wdh)