Logo Bloomberg Technoz

Perdebatan apakah dana JETP yang diberikan akan berupa hibah atau pinjaman dan persyaratan apa yang akan dilampirkan mungkin hanya puncak gunung es. Inti masalahnya adalah bahwa Indonesia mungkin menjadi salah satu negara yang paling sulit di dunia untuk menerapkan komitmen nol emisi. Kecuali jika masalah mendasar tersebut diperbaiki, program iklim unggulan ini mungkin akan menuju kegagalan.

Perbandingan transisi pembangkit listrik di berbagai negara dunia./dok. Bloomberg


Ekonomi dan politik lah yang telah memberi dorongan cepat bagi dunia menuju EBT dalam beberapa tahun terakhir. Di banyak negara, porsi tenaga angin dan matahari dalam pembangkit listrik mulai meningkat, bukan karena faktor ideologis, tetapi karena mereka mampu menghasilkan listrik dengan biaya lebih rendah daripada alternatifnya.

Indonesia adalah pengecualian yang langka. Cadangan batu baranya sangat banyak dan murah, menjadikannya pengekspor terbesar dunia. Kecepatan angin di dekat khatulistiwa cenderung rendah, jadi tidak cocok untuk menghasilkan banyak tenaga dengan cara itu.

Langit berawan dan kehangatan sepanjang tahun yang mengurangi efisiensi modul surya berarti potensi daya fotovoltaiknya jauh di bawah kebanyakan negara berkembang besar lainnya, setara dengan negara-negara di Eropa Barat.

Masalah itu diperparah oleh geografi. Di banyak bagian dunia, ketakutan bahwa energi terbarukan memakan terlalu banyak ruang adalah palsu. Di pulau utama Jawa — yang menjejalkan populasi lebih besar dari Rusia ke wilayah seukuran Yunani — mereka jauh lebih kredibel.

Membangun semacam jaringan transmisi listrik skala besar yang telah digunakan China untuk memindahkan elektron dari utara dan barat yang kaya EBT ke timur yang berpenduduk padat juga lebih sulit. Biaya kabel semacam itu melonjak begitu melintasi perairan, dan Indonesia memiliki lebih dari 18.000 pulau.

Penerapan EBT dalam pembangkit listrik di Indonesia masih rendah./dok. Bloomberg


Isu-isu mendasar itu dibuat makin sulit oleh iklim politik di Indonesia. Tenaga batu bara menerima subsidi dari sektor ekspor negara berkat kebijakan yang mengharuskan penambang untuk menjual seperempat produk mereka ke generator domestik dengan harga yang seringkali di bawah biaya produksi.

Sebaliknya, adopsi energi terbarukan "dihukum". Misalnya, aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) mengharuskan 60% komponen modul surya dibuat secara lokal, sehingga mendorong biaya domestik jauh di atas yang tersedia di pasar global.

Sementara itu, kelebihan kapasitas berbahan bakar batu bara di jaringan utama Jawa—Bali menyebabkan monopoli distributor listrik PLN lamban dalam menambah panel atap yang akan mengurangi pendapatannya sendiri.

Batu bara juga merupakan sumber utama kekayaan dan pengaruh politik. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan –salah satu pemain utama yang bertanggung jawab atas program JETP dan sekutu utama Presiden Joko Widodo– secara historis merupakan pemegang saham korporasi pertambangan batu bara yang signifikan.

Belum ada tanda-tanda Indonesia membuat kemajuan yang diperlukan bahkan untuk mencapai target nol emisi, apalagi yang direncanakan oleh JETP. Hanya 12,5 gigawatt energi terbarukan yang terhubung pada akhir 2022, hampir setengah di bawah terget 24 GW yang dijanjikan negara tersebut pada 2025.

Hanya 2 GW tambahan yang telah terhubung sejak 2019, menurut Institute for Essential Services Reform, dan pemerintah telah memangkas targetnya untuk instalasi panel surya 2023 hingga setengahnya dibandingkan dengan angka 2022. Pensiun dini PLTU juga tidak ada gunanya, kecuali jika pemerintah menutup celah yang memungkinkan lebih banyak lagi dibangun di masa depan.

Porsi bahan bakar fosil dalam pembangkit di Indonesia./Bloomberg


Sekalipun jika kemauan dan koordinasi politik lokal lebih baik, dana US$20 miliar yang dijanjikan JETP tetap tidak cukup untuk mengentaskan skala masalah di Indonesia. RI ditaksir membutuhkan minimal US$2,42 triliun untuk mendanai transisi energi hingga 2050.

Risikonya dari hal ini bisa meluas sampai ke negara Asia Tenggara lainnya. Program JETP alat politik paling penting untuk membuat negara berkembang menghentikan kebiasaan penggunaan batu bara. Namun, jika ambisi yang tidak realistis dan tujuan yang tidak dapat didamaikan menyebabkannya gagal, program tersebut berisiko mencemari misi transisi energi secara keseluruhan.

Program JETP senilai US$8,5 miliar untuk Afrika Selatan sudah mengalami hambatan politik yang sulit diatasi di tengah pemadaman listrik yang meluas. Nasib kebijakan JETP lainnya di Vietnam dan, berpotensi, India, akan bergantung pada hasil dari kebijakan yang sudah berjalan.

Di seluruh negara berkembang, utilitas petahana yang dililit utang dan berbahan bakar fosil berharap dapat meningkatkan hambatan terhadap energi yang lebih murah dan lebih bersih untuk melindungi bisnis mereka yang sudah ada.

Runtuhnya upaya dekarbonisasi Indonesia akan menjadi kemenangan bagi para monopolis tersebut. Untuk iklim global dan warga negara yang ingin mereka layani, itu akan menjadi bencana.

(bbn)

No more pages