Namun, posisi cadangan devisa yang mencapai rekor baru itu tetap tidak mampu mendongkrak otot rupiah hari ini. Nilai tukar rupiah masih melanjutkan pelemahan hingga terlempar ke kisaran Rp 15.151 per dollar AS pada Selasa siang pukul 12.54 WIB, menyusul sentimen kenaikan bunga The Federal Reserves yang diprediksi akan semakin berlanjut, dengan data terbaru pasar tenaga kerja AS yang makin ketat.
Sinyal Dovish The Fed
Indonesia menghadapi sejumlah tantangan eksternal tahun ini menyusul perlambatan perekonomian global. Defisit transaksi berjalan kemungkinan akan mencapai 1,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) 2023. Bandingkan posisi tahun lalu yang surplus sebesar 1,05%, menurut perkiraan Chief Economist Bank Mandiri Faisal Rachman.
Tren penurunan harga komoditas global akan menekan kinerja ekspor pada 2023. Pada saat yang sama pertumbuhan impor mungkin akan melampaui ekspor. Meski begitu, menurutnya, surplus perdagangan akan bertahan lebih lama karena penurunan harga komoditas global terjadi perlahan. Pergerakan komoditas dipengaruhi pembukaan kembali ekonomi China dan situasi perekonomian Eropa yang lebih baik daripada perkiraan semula.
Kendati menghadapi tekanan, cadangan devisa tahun ini diperkirakan masih bertahan di level memadai disokong optimisme pasar finansial. Beberapa faktor pendorong optimisme itu di antaranya, pembukaan kembali ekonomi China akan menarik banyak pemodal global untuk melakukan rebalancing portofolio di kawasan Asia. Selain itu, sentimen bunga tinggi dari bank sentral utama dunia juga diperkirakan akan mencapai puncak pada akhir semester I-2023.
Optimisme serupa juga diungkapkan oleh Josua, ia meyakini cadangan devisa tahun ini masih akan meningkat terdorong peningkatan aliran modal asing ke pasar keuangan domestik. Hal ini dapat meredam dampak penurunan surplus transaksi berjalan RI.
Sentimen hawkish dari The Fed akan mereda dan bisa mendorong dana asing kembali masuk ke pasar finansial dalam negeri. “Penurunan transaksi berjalan tidak serta merta mengakibatkan penurunan cadangan devisa karena faktor arus masuk ke pasar finansial menjadi variabel dominan,” jelas Josua.
Pada 2022 lalu, menurut analisis Josua, transaksi berjalan Indonesia mengalami surplus akan tetapi nilai cadangan devisa malah mengalami penurunan. “Itu karena aliran modal asing keluar dari pasar obligasi domestik yang menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah dan penurunan cadangan devisa,” jelasnya.
Faisal menambahkan, selain faktor The Fed yang melempar sinyal dovish, optimisme tahun ini juga datang dari pengelolaan anggaran, di mana defisit fiskal oleh pemerintah akan dipertahankan di bawah 3%. “Faktor-faktor itu bisa memperkecil risiko outflow modal dan memberikan potensi aliran modal masuk di pasar obligasi,” kata Faisal.
Pun halnya kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) yang bisa mendukung likuiditas dolar AS agar tetap melimpah di dalam negeri. Juga agenda hilirisasi bahan alam yang digadang-gadang oleh pemerintah bisa menarik lebih banyak modal asing masuk ke dalam negeri. Ia memprediksi cadangan devisa akan tetap menguat di kisaran US$ 135 miliar hingga US$ 145 miliar sampai akhir 2023.
Sokongan terutama akan berasal dari kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE), dan sentimen bunga tinggi yang kemungkinan akan mereda pada akhir semester I-2023. Juga pembukaan kembali ekonomi China.
“Cadangan devisa di kisaran US$ 135 miliar - US$ 145 miliar akan mampu mendukung ketahanan nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian ekonomi global yang tinggi,” kata dia.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, Faisal memperkirakan, akan bertengger di kisaran Rp 15.285 pada akhir 2023 dengan rata-rata pergerakan di kisaran Rp 15.220, melemah dibandingkan rata-rata 2022 di kisaran Rp 14.874.
Adapun Josua memprediksi di angka yang lebih optimistis. Cadangan devisa hingga akhir tahun akan lebih tinggi dibandingkan 2022, yaitu di kisaran US$ 140 miliar hingga US$ 145 miliar. Kendati cadev akan lebih kuat, namun nilai tukar rupiah belum akan terapresiasi ke level Rp 14.000.
Josua memprediksi, nilai tukar rupiah akan bertahan di rentang Rp 15.000-Rp15.300 per dolar AS pada 2023. Satu faktor yang bisa membuyarkan prediksi optimisme itu adalah apabila meletus krisis ekonomi di negara maju dan berpotensi membatasi aliran modal asing ke pasar emerging market termasuk Indonesia.
(rui/wep)