Tren defisit pasokan gula di berbagai kawasan dunia tersebut mulai terefleksi dari naiknya berbagai harga komoditas pangan di tingkat ritel di Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
“Kekhawatiran terbesar saat ini adalah ketatnya pasokan di tingkat global. Untuk saat ini, semua tergantung pada tambahan ekspor dari India. Namun, jika sampai Brasil mengalami gangguan, maka pasar [gula] dunia akan kisruh,” ujar direktur operasional Meir Commodities India Pyt, Rahil Shaikh, seperti dikutip dari Bloomberg News, Selasa (07/02/2023).
Berikut hal-hal yang memengaruhi perkembangan pasok dan harga gula di pasar global:
Ekspor India
Hingga saat ini belum ada kepastian soal berapa banyak India mau mengekspor gulanya. The Indian Sugar Mills Association pada pekan lalu memangkas proyeksi pengapalan gula mereka menjadi hanya sekitar 6 juta ton pada musim ini, akibat gangguan produksi karena faktor cuaca.
Gangguan cuaca tersebut membuat Pemerintah India lebih berhati-hati dalam memutuskan untuk mengekspor pasok gula mereka. Ditambah, pabrikan di India belakangan ini mulai beralih memproduksi etanol sebagai bahan baku biofuel.
Produksi Brasil
Brasil seharusnya memasuki musim panen terbaik pada tahun ini, setelah kekeringan menghantam produksi pertanian di negara tersebut pada musim sebelumnya.
Bagaimanapun, kondisi cuaca yang lebih baik pada tahun ini memungkinkan Brasil untuk memulai produksinya lebih awal. Hal itu akan berakibat pada ketatnya kompetisi memperebutkan slot pengapalan saat musim ekspor gula jatuh bersamaan dengan musim ekspor kedelai.
Analis Czapp dari Czarnikow Group Ltd., Ana Zancaner, menjelaskan risiko keterbatasan kapasitas ekspor di Brasil dapat mengakibatkan naiknya premi fisik gula.
Ditambah lagi, kenaikan harga bahan bakar minyak berisiko membuat pabrikan gula di Brasil beralih memproduksi etanol, yang dinilai lebih menguntungkan secara bisnis.
Masalah Eropa
Saat ini Eropa tengah memacu impor gula mereka akibat gangguan produksi karena faktor kekeringan. Uni Eropa, pada saat bersamaan, melarang penggunaan neonicotinoids—sejenis pestisida yang dianggap berbahaya bagi lebah—sehingga mengganggu produksi tebu.
Di tengah gejala defisit pasok gula, beberapa perusahaan makanan olahan di Eropa pun terpaksa membayar lebih dari 1.000 euro (US$1.204) per ton untuk membeli gula rafinasi di pasar spot. Nilai tersebut jauh lebih mahal dari harga normal.
Produsen Lainnya
Menurut Thai Sugar Millers Corp, stok gula di Thailand dinilai tidak akan mencukupi kekurangan pasok gula global akibat gangguan produksi di India dan masalah ekspor di Brasil.
Sementara itu, di Amerika Serikat, suplai gula bit mengalami gangguan sehingga mengerek harga gula rafinasi. Hal ini turut berimbas pada kenaikan biaya produksi industri makanan olahan dan permen.
Tidak hanya itu, pasok gula dari Meksiko ke AS juga turun akibat isu gangguan produksi.
Ledakan Permintaan
Tekanan pasok dan harga gula dunia juga dipicu oleh kenaikan permintaan dari China, seiring dengan dibukanya kembali perekonomian negara tersebut.
Direktor operasional Paragon Global Markets, Michael McDougall, mengatakan perusahaan makanan olahan di China yang mengurangi permintaan dalam beberapa tahun terakhir mulai bersaing mendapatkan stok gula.
Masalah serupa juga terjadi di Indonesia, selaku salah satu importir terbesar gula. Industri makanan olahan—seperti minuman berpemanis dan mi instan—mulai khawatir terhadap tekanan harga gula dunia.
Menurut Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI), perusahaan-perusahaan di Indonesia mulai berpikir untuk mencari pemasok alternatif dari Brasil dan Australia, untuk mengatasi isu kurangnya pasokan dari India.
Faktor Lain?
Somit Banerjee, kepala trading di Al Khaleej Sugar Co. yang berbasis di Dubai, mengatakan di berbagai belahan dunia mulai terjadi spekulasi berlebihan yang turut memicu reli harga gula.
Dari sisi suplai, banyak produsen yang beralih memproduksi serealia karena dianggap lebih menguntungkan ketimbang tebu dan bit. “Harga gabah di berbagai negara kini lebih tinggi dibandingkan dengan harga tebu dan bit," kata McDougall.
(bbn/wdh)