"Efek di bawahnya kan belum terlihat, masyarakat kan daya belinya masih rendah. Lalu apa inflasi oke tiga sekian persen tapi kan di (masyarakat) bawah yang penting. Menurut saya sih kalau inflasi rendah penerimaan bagus ya masyarakat harusnya mendapatkan pelayanan yang lebih baik. Kalau ini kan tidak karena ini kan banyak proyek-proyek infrastruktur yang belum dirasakan manfaatnya kecuali sibuk membenahi karena mudah rusak, belum terjangkau dan (harusnya) bisa digunakan oleh publik kan begitu," kata dia lagi.
Pengamat tersebut menilai memang terjadi banyak pembangunan infrastruktur tetapi tidak signifikan terhadap kualitas pelayanan publik.
Sementara anggota DPR dari Fraksi Demokrat Herman Khaeron juga menilai pidato Presiden Jokowi kurang berisi sehingga minim esensi untuk melaporkan kinerja pemerintah secara lengkap.
"Mestinya ya pidato kenegaraan di forum yang kita ikuti mestinya isi pidatonya mengenai kinerja lemabaga-lembaga negara. Kinerja lembaga-lembaga negara itu bervariasi tentu saja ada kemajuan mungkin juga ada hambatan," kata Herman di gedung DPR, Rabu (16/8/2023).
Namun kata dia, Jokowi kali ini hanya menyampaikan kemajuan di bidang pemerintah saja atau di lingkungan kepresidenan. Sayangnya tidak memaparkan soal progres lembaga-lembaga yang lain.
"Saya kira ini seharusnya yang diangkat menjadi spirit kebangsaan kita. Tapi sepintas saja tadi terkait kinerja pemerintahan. Itu baru kemudian masuk ke dalam lembaga-lembaga lainnya singkat saja. Padahal penting sebenarnya untuk kita tahu informasi yang lebih utuh," ujar dia.
Diketahui dalam pidato kenegaraan kali ini Presiden Jokowi tidak mengangkat banyak aspek. Bahkan pidatonya dimulai dengan soal politik yang terkait dengan pencalonan presiden. Yang disinggung Presiden adalah seputar ekonomi, investasi, stunting, bonus demografi, daya saing dan juga ekonomi global. Sementara soal antikorupsi dan HAM hampir tak ada.
Kutipan paragraf awal pidato Presiden Jokowi sebagai berikut:
"Kita saat ini sudah memasuki tahun politik. Suasananya sudah hangat-hangat kuku dan sedang tren di kalangan politisi dan parpol. Setiap ditanya soal siapa Capres Cawapres-nya. Jawabannya: “Belum ada arahan pak Lurah..”
Saya sempat mikir. Siapa “Pak Lurah” ini. Sedikit-sedikit kok Pak Lurah. Belakangan saya tahu yang dimaksud Pak Lurah itu ternyata Saya.
Ya saya jawab saja: Saya bukan lurah. Saya Presiden Republik Indonesia. Ternyata Pak Lurah itu, kode. Tapi perlu saya tegaskan, saya ini bukan Ketua umum parpol, bukan juga Ketua koalisi partai dan sesuai ketentuan Undang Undang yang menentukan Capres dan Cawapres itu Parpol dan koalisi parpol.
Jadi saya mau bilang itu bukan wewenang Saya, bukan wewenang Pak Lurah. Walaupun Saya paham sudah nasib seorang Presiden untuk dijadikan “paten-patenan”, dijadikan alibi, dijadikan tameng.
Bahkan walau kampanye belum mulai, foto saya banyak dipasang di mana-mana. Saya ke Provinsi A eh ada, ke Kota B eh ada, ke Kabupaten C ada. Sampai ke tikungan-tikungan di desa ada juga.
Tapi, bukan foto saya sendirian. Ada yang disebelahnya bareng Capres. Ya nda apa, boleh-boleh saja."
(ezr)