Sementara itu, inflasi akan tetap dijaga pada kisaran 2,8 persen. Presiden menyebutkan bahwa peran APBN akan tetap dioptimalkan untuk memitigasi tekanan inflasi, baik akibat perubahan iklim maupun gejolak eksternal. Selain itu pemerintah juga akan menjaga koordinasi yang kuat antara anggota forum Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).
Kemudian rata-rata nilai tukar Rupiah diperkirakan bergerak di sekitar Rp15 ribu per Dolar AS dan rata-rata suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun diprediksi pada level 6,7 persen.
“Koordinasi anggota Komite Stabilitas Sektor Keuangan akan selalu antisipatif dan responsif dalam menghadapi potensi gejolak eksternal,” kata Presiden.
Harga minyak mentah Indonesia (ICP) diperkirakan berada pada 80 Dolar AS per barel. Sementara, lifting minyak dan gas bumi diperkirakan masing-masing mencapai 625 ribu barel per hari dan 1,03 juta barel setara minyak per hari.
Dalam kesempatan itu, Presiden menekankan peran penting dan strategis APBN dalam mendukung, memfasilitasi, serta menentukan arah kebijakan ekonomi, sosial, dan daya saing pertahanan dan keamanan nasional.
“Kebijakan fiskal ke depan dirancang dengan tujuan mengakselerasi target dan prioritas pembangunan nasional. Agenda transformasi ekonomi, termasuk hilirisasi sumber daya alam, baik hasil tambang maupun pangan, akan terus dilanjutkan. Perlindungan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang berpendapatan rendah, juga akan tetap menjadi fokus penting untuk menopang perbaikan struktural secara fundamental,” tandasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan proyeksi ekonomi Indonesia yang lebih rendah tersebut telah mempertimbangkan kondisi eksternal yang diprediksi masih bergejolak.
"Kita melihat dengan adanya kenaikan suku bunga drastis tadi higher, faster, longer ini baru memberikan pengaruh kinerja pertumbuhan negara AS dan Eropa dalam jangka waktu 1-1.5 tahun ke depan. Oleh karena itu kita mengantisipasi dari sisi itu," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Nota Keuangan, di Jakarta, Rabu (16/8).
Mantan Direktur Bank Dunia itu mengatakan kondisi ketegangan geopolitik antara China dan Amerika Serikat juga diperkirakan akan mempengarhui kondisi perdagangan global, terlebih lagi jika muncul kebijakan proteksionisme yang semakin mendisrupsi rantai pasokan global.
"Di sisi lain China ekonominya juga menunjukan tanda-tanda melemah. Ini menjadi salah satu faktor yang kita lihat sebagai downside risk untuk pertumbuhan 2024, terutama dari sisi ekspor," kata Sri Mulyani.
Oleh sebab itu, Sri Mulyani mengatakan Indonesia harus bisa meningkatkan konsumsi domestik guna mengkompensasi turunnya kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi tahun depan. Tahun depan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga ditargetkan hingga 5,7%.
"Sehingga konsumsi harus tetap terjaga. Ini yang kita lakukan untuk program stabilisasi harga untuk jaga daya beli," kata Sri Mulyani.
(krz/hps)