“China yang lemah mungkin akan memunculkan puncak pengetatan moneter. Hal ini juga akan mengurangi permintaan akan komoditas yang dapat mengurangi tekanan inflasi dan memungkinkan ekonomi di negara Barat untuk berjalan ‘lebih panas’,” kata Christopher Hiorns, manajer portofolio EdenTree Investment.
Inflasi di AS dan negara-negara lain telah meningkat pesat pada tahun-tahun setelah pandemi, memangkas daya beli konsumen dan memaksa bank-bank sentral untuk menaikkan suku bunga. Situasi yang berbeda terjadi di China ditopang oleh berbagai keadaan termasuk mundurnya industri properti yang berkepanjangan. Harga barang-barang China di titik pelabuhan wilayah AS telah turun setiap bulan pada tahun 2023.
“Sisi positifnya adalah deflasi tipis dan pertumbuhan yang lambat di China akan meredam inflasi di seluruh dunia dengan lebih cepat,” kata Rajeev De Mello, manajer portofolio makro global Gama Asset Management. Meski demikian, lanjutnya, perlambatan di China juga akan menyebabkan perlambatan di Asia dan Eropa.
De Mello mengatakan kepada Bloomberg Television bahwa kondisi China menjadi positif untuk pemegang obligasi global dan aset-aset pasar negara berkembang. Dampak atas kondisi deflasi terhadap AS dan mitra-mitra dagang lainnya mungkin kecil dan bersifat sementara.
Realisasi pembelian AS terhadap barang-barang asal China telah menurun, dan perang di Ukraina menaikkan harga komoditas seperti minyak.
Atas kondisi ini para ekonom Bloomberg mengatakan bahwa penurunan pertumbuhan China akan berdampak terbatas pada ekonomi AS atau kalkulus Federal Reserve. Ekonomi juga menilai saat skenario penurunan, di mana China kurang memberikan stimulus dan pertumbuhan melambat, pergeseran ke sentimen risk-off dan kondisi kredit global lebih ketat, dapat mendorong Fed untuk menurunkan suku bunga lebih cepat dari yang diharapkan.
- Dengan asistensi James Mayger dan Marcus Wong
(bbn)