Tahun lalu, harga komoditas melambung tinggi akibat perang di Ukraina. Contoh, harga batu bara sepanjang 2022 meroket 126,47%. Sementara harga CPO sempat mencapai rekor tertinggi sepanjang masa di atas MYR 7.000/ton.
Akibatnya, Indonesia menikmati windfall, keuntungan tiba-tiba yang tiada tara. Pada 2002, nilai ekspor mencapai US$ 291,98 miliar, tertinggi sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Namun tahun ini semua berubah. Inflasi tinggi di berbagai negara membuat bank sentral menempuh kebijakan moneter ketat. Suku bunga tinggi menjadi kenormalan baru.
Lambat laun, pengetatan moneter ini mulai berdampak. Tingginya suku bunga membuat ekspansi dunia usaha dan rumah tangga melambat.
Penurunan permintaan ini kemudian membuat harga komoditas berjatuhan. Sepanjang 2023, harga batu bara anjlok 62,73% dan CPO rontok 10,44%.
“Era windfall ternyata telah berlalu. Harga komoditas unggulan ekspor mengalami tren penurunan,” tutur Winny, sapaan akrab Amalia.
Hasilnya, kinerja ekspor Indonesia terseret ke bawah mengikuti harga komoditas. Dalam 7 bulan pertama 2023, sudah 4 kali ekspor Indonesia membukukan kontraksi alias pertumbuhan negatif.
Komoditas Dipuja, Manufaktur Merana
Sebelum merdeka, Indonesia adalah wilayah jajahan Belanda selama ratusan tahun. Setelah merdeka, ternyata sisa-sisa Belanda masih ada.
Pada 1977, majalah The Economist menelurkan istilah penyakit Belanda alias Dutch disease. Fenomena ini lahir kala Belanda menemukan Groningen pada 1959, yang membuat Negeri Kincir Angin begitu mengandalkannya dan melupakan sektor manufaktur.
“Pada 1960-an, kekayaan Belanda naik pesat karena penemuan lapangan gas di tersebut. Namun kemudian sektor manufaktur menjadi terlupakan. Akibatnya, ekspor non-migas Belanda menjadi kurang kompetitif,” sebut riset Christine Ebrahimzadeh dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang berjudul Dutch Disease: Wealth Managed Unwisely.
Itulah yang terjadi di Indonesia. Terlena dengan menjual Tanah Air, sektor manufaktur Indonesia mengalami kemunduran. Peranan sektor ini dalam pembentukan Produk Domestik (PDB) kian berkurang.
Bank Dunia mencatat, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB di Indonesia pada 2021 hanya 18%. Ini adalah yang terendah sejak 1989.
Lalu bagaimana cara mengobati penyakit ini? Ebrahimzadeh mencoba memberi solusi.
“Para pembuat kebijakan harus bisa mengelola perubahan struktural untuk memastikan stabilitas ekonomi. Harus ada upaya untuk meningkatkan produktivitas dan berinvestasi di pengembangan sumber daya manusia. Mereka juga harus terus mendiverifikasi ekspor untuk melepaskan ketergantungan agar tidak rentan terhadap gejolak eksternal, misalnya saat harga komoditas anjlok,” jelas Ebrahimzadeh.
(aji/evs)