Kenaikan posisi utang luar negeri RI pada China tidak bisa dilepaskan dari agresivitas pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo melangsungkan proyek infrastruktur yang sebagian di antaranya melibatkan China dalam payung proyek Belt and Road Initiative.
Baca juga: Ironi Kinerja Logistik Anjlok Kala Proyek Infrastruktu Jorjoran
Berdasarkan AidData 2021, Indonesia menempati posisi kedua di jajaran 10 negara teratas proyek infrastruktur Belt and Road Initiative dengan nilai proyek mencapai US$ 20,3 miliar, dengan jumlah proyek mencapai 71 proyek.
Berdasarkan kajian dari Centre of Economic and Law Studies (CELIOS) yang dirilis Juni lalu, ketergantungan Indonesia terhadap China termasuk dalam hal kerjasama proyek infrastruktur yang melibatkan utang dalam nilai besar, membuka risiko jebakan utang (debt trap) yang sejauh ini sudah terjadi di beberapa negara lain seperti Sri Lanka.
"Indonesia harus menyiapkan strategi mitigasi untuk terhindar dari debt trap. Dengan nilai utang Indonesia pada China yang semakin fantastis nilainya, di mana nilainya diperkirakan akan terus meningkat seiring masuknya proyek Belt and Road Initiative lain yang ditandatangani. Ada kekhawatiran risiko gagal bayar yang bisa menyebabkan kerugian lebih besar di masa depan," tulis analis dan peneliti CELIOS Yeta Purnama dan Zulfikar Rakhmat, dikutip pada Selasa (15/8/2023).
Mewaspadai jebakan utang terkait proyek kerjasama dengan Tiongkok, menurut analis bukan sebuah tuduhan tanpa dasar.
"Secara historis, dalam beberapa tahun terakhir, sudah ada beberapa negara yang divonis gagal bayar dan terperangkap dalam utang yang besar dengan China di bawah proyek Belt and Road Initiative," kata analis.
Jebakan utang itu tidak bisa dilepaskan dari pola skema pinjaman China di mana ketika negara peminjam tidak mampu membayar utang, maka China akan membatasi kemampuan manuver pemerintah tersebut dalam berdaulat, demikian tulis Celios. Sebagai konsekuensi, China bisa mengambil alih kepemilikan atas proyek yang dibangun.
Pada beberapa kasus negara yang terjerat utang China, seperti Sri Lanka misalnya dalam proyek pembangunan pelabuhan Hambantota, kebanyakan berangkat dari skema kredit yang cenderung berat sebelah.
"China memberikan pembebanan skema kredit yang tinggi di mana persyaratan pinjaman untuk proyek memicu polemik tersendiri karena pencairannya mewajibkan negara mitra membeli 70% bahan baku dari China dan mempekerjakan pekerja dari Tiongkok dalam jumlah besar. Kondisi itu bukanlah kerja sama yang imbang karena lebih menguntungkan investor China dan berimbas memberatkan pelaku industri lokal," jelas Celios.
Apa yang terjadi pada Zimbabwe juga bisa jadi wake up call. Negeri di Afrika itu menerima pinjaman besar dari China untuk memberantas pemberontak di perbatasan. Akan tetapi, mereka tidak mampu membayar kala utang jatuh tempo dan sebagai ganti penghapusan utang, Zimbabwe harus menandatangani perjanjian menambahkan yuan sebagai salah satu mata uang legal negeri itu sejak 2016 lalu. Bukan cuma Zimbabwe yang terjerat debt trap Tiongkok. Uganda dan Sri Lanka juga mengalami hal serupa.
Di luar tiga nama itu, ada beberapa negara yang disoroti oleh analis memiliki risiko tinggi terjebak perangkap utang akibat proyek yang dinaungi Belt and Road Initiative di antaranya meliputi Kazakhstan, Mongolia, Malaysia, Vietnam, Kamboja, Laos, termasuk Indonesia.
Setidaknya ada 9 proyek kerjasama Indonesia dan China yang mengalami skandal dan kontroversi dengan nilai mencapai US$5.224 juta, menurut AidData. Sedangkan nilai proyek yang bermasalah dari sisi lingkungan mencapai 6 proyek dengan nilai US$4.651 juta.
Daftar Proyek Belt and Road Initiative di Indonesia:
-
Kereta Cepat Jakarta Bandung
-
Jalan Balikpapan-Samarinda
-
PLTU Mulut Tambang Sumsel 8
-
PLTU Paiton Unit 9
-
PLTU Celukan Bawang
-
Bendungan Nusa Tenggara Timur
-
Bendungan PLTA Batang Toru
-
PLTA Sungai Kayan
-
Tanah Kuning Industrial Park
-
Ketapang Industrial Park
-
Likupang Economic Zones
-
Morowali Industrial Park
-
Obi Industial Area
-
Proyek Semen SDIC
Overrun Proyek Kereta Cepat
Awal April lalu, pemerintah meneken kesepakatan pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sebesar US$1,2 miliar, setara Rp17,9 triliun. Alhasil, total biaya proyek tersebut mencapai US$7,27 miliar.
PT KCIC menambah utang hingga US$560 juta pada China Development Bank untuk menutupi pembengkakan biaya. Bahkan China sempat mendesak Indonesia menjadikan APBN sebagai jaminan dari pembengkakan biaya tersebut.
Nilai proyek itu saat pertama kali diiinisiasi pada 2015 sejatinya diperkirakan mencapai US$5,13 miliar. Akan tetapi, pembengkakan terus terjadi dan pemerintah gagal membujuk China untuk menurunkan bunga pinjamannya dari 3,4% menjadi 2%. Pembengkakan nilai proyek tersebut dinilai berpotensi bakal membebankan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Ekonom Senior Faisal Basri menilai China tidak akan menanggung rugi akibat pembengkakan biaya tersebut. Konsorsium Indonesia besar kemungkinan bakal kesulitan membayar utang tersebut sehingga ujung-ujungnya mengandalkan APBN.
Baca juga: Salah Kaprah Investasi Nikel China
"China tidak pernah rugi karena kita tiap tahun bayar bunga yang dari 75%. Pinjaman yang bunganya 20 kali lebih tinggi kalau dari Jepang. Inilah ongkos yang harus kita bayar," kata Faisal kepada Bloomberg Technoz, medio April lalu.
“Utang yang terakumulasi di perusahaan konstruksi di Indonesia mirip dengan apa yang terjadi di negara-negara lain, seperti China. Sesuatu harus dilakukan tahun ini, agar masalah tidak melebar ke perusahaan lain seperti supplier dan vendor,”
John Teja, Presiden Direktur Ciptadana Sekuritas Asia
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengatakan pemerintah ingin pembengkakan biaya pada proyek KCJB ditanggung bersama-sama oleh Indonesia dan China sesuai dengan porsi kepemilikan saham. Artinya, diselesaikan dengan skema business to business (B2B) seperti anggaran pembangunan. Namun belakangan China berkeras minta agar APBN menjadi penjamin untuk pinjaman proyek kereta cepat.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan ada risiko yang sangat berat apabila Indonesia tidak mampu melunasi utang proyek tersebut. Indonesia berisiko kehilangan hak pengelolaan kereta cepat dan diperkirakan akan jatuh ke tangan kreditur China. Bahkan pemasukan dari operasional kereta pun akan langsung menjadi pendapatan kreditur yaitu Tiongkok.
"Kasus overrun KCJB jangan sampai terjadi pada proyek lain akibat kurangnya perencanaan, transparansi, dan pengawasan. Ditambah lagi dengan masalah pembebasan lahan, salah perhitungan, dan kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Jika tidak ada upaya perbaikan yang serius maka ambisi Jalur Sutra Baru China akan terus bermasalah alih-alih mendapatkan manfaat yang lebih besar," imbuh Yeta.
Gelembung Utang China
China di bawah Xi Jinping sejak 2013 meluncurkan Belt and Road Initiative yang disebut akan menjadi Jalur Sutera Baru di abad 21. Sampai tahun lalu, tercatat 147 negara telah menandatangani kesepakatan proyek kerjasama dengan China di bawah payung Belt and Road Initiative. Jumlah itu setara dengan dua pertiga populasi dunia dan merepresentasikan 40% dari Produk Domestik Bruto dunia. Hal itu menjadi salah satu pendongkrak penguatan ekonomi China dalam beberapa tahun sebelum pandemi.
Namun, kini China menghadapi kepelikan yang bisa mengancam capaian tersebut dan menyeret dunia dalam kecemasan. Yang terbaru adalah kasus gagal bayar Zhongzhi Enterprise Group Co., manajer investasi yang mengelola aset lebih dari 1 triliun yuan.
Baca juga: Negara Tidak Mau Ambil Risiko Atas Kasus Utang Waskita Karya
Perusahaan manajemen investasi itu terseret skandal gagal bayar Country Garden Holdings Co, yang sempat menjadi perusahaan properti dengan penjualan terbesar di China. Kupon obligasi valas yang jatuh tempo kemarin tidak terbayarkan, sehingga default meski ada masa tenggang (grace period) selama 30 hari.
Gelembung utang China bukan baru terbentuk kemarin sore. Ambisi China mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi melalui agresivitas membangun berbagai proyek infrastruktur sudah berlangsung sejak awal 2000-an.
Pola yang dicontoh oleh pemerintah Jokowi melalui ambisi membangun berbagai proyek infrastruktur yang kini mulai pecah gelembung dengan skandal utang BUMN karya.
BUMN karya yang diberi banyak penugasan membangun infrastruktur banyak tercekik utang. Yang paling menghebohkan adalah PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) yang membukukan total kewajiban Rp 84,31 triliun di mana sebesar Rp 22,79 triliun adalah kewajiban jangka pendek per semester I-2023 lalu.
BUMN Karya lain PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WIKA) juga menghadapi beban utang besar dengan total kewajiban Rp 56,7 triliun pada semester I dengan ekuitas sebesar Rp 15,47 triliun.
“Utang yang terakumulasi di perusahaan konstruksi di Indonesia mirip dengan apa yang terjadi di negara-negara lain, seperti China. Sesuatu harus dilakukan tahun ini, agar masalah tidak melebar ke perusahaan lain seperti supplier dan vendor,” tegas John Teja, Presiden Direktur Ciptadana Sekuritas Asia, seperti dikutip dari Bloomberg News.
-- dengan bantuan laporan dari Hidayat Setiaji dan Krizia P. Kinanti.
(rui)