“Lihat kita punya ISPO sejak 2011. Berapa persen sawit kita yang sudah dapat sertifikat ISPO? Kita juga sudah ikut dalam RSPO pada 2008, kita termasuk sponsornya. Ketika RSPO mula-mula didiskusikan, saya menteri yang berpidato di hadapan kelompok kecil tentang pentingnya isu berkelanjutan [di industri sawit],” ujar Bungaran, yang juga mantan menteri pertanian era Kabinet Gotong Royong.
Permasalahannya, konteks ‘keberlanjutan’ yang dituntut dunia internasional terhadap sawit Indonesia adalah keberlanjutan yang bersifat absolut (absolute sustainability), yang hanya ada di koridor teoretis.
“Dalam konsep absolute sustainability, pilihannya ada dua; hitam atau putih. Sekali dicap unsustainable, maka tidak bisa ikut dalam kompetisi,” jelasnya.
Kontribusi ke Ekonomi
Lebih lanjut, dalam konteks keberlanjutan, ekspor produk turunan minyak kelapa sawit di Tanah Air telah memberikan sumbangsih devisa senilai US$39 miliar (sekitar Rp597,51 triliun) pada 2022, dan menghemat devisa senilai US$10,3 miliar (sekira Rp157,80 triliun) berkat program mandatori biodiesel.
Dengan demikian, kata Bungaran, industri kelapa sawit menyumbang devisa negara senilai hampir US$50 miliar (Rp766,05 triliun) pada tahun lalu.
“Tidak ada komoditas [yang kontribusinya] seperti itu. Sawit kontribusinya besar dalam menciptakan surplus perdagangan yang kita nikmati selama 3 tahun pandemi Covid-19. Sawit salah satu penyelamat ekonomi kita pada era Covid,” tegasnya.
Tidak hanya itu, dia mencatat industri kelapa sawit memayungi 2,5 juta rumah tangga petani dan menyerap 16,5 juta tenaga kerja. Sebanyak 70 juta rakyat Indonesia juga menggantungkan hidupnya dari industri perkebunan itu.
“Negara lain [dituntut untuk mencapai keberlanjutan] pada 2050, kenapa kalau Indonesia harus hari ini? Ini diplomasi. Kita lemah dalam diplomasi. Kita butuh diplomasi yang saintifik, bukan diplomasi politis dan ekonomis,” tuturnya.
Bungaran pun mengeklaim 50% minyak sawit global telah tersertifikasi keberlanjutan, di mana mayoritas bersumber dari Indonesia. Dengan demikian, dia menilai CPO terbukti relatif lebih berkelanjutan daripada minyak nabati lain.
“Dari 17 jenis minyak nabati dunia, baru minyak sawit yang memiliki sistem berkelanjutan. Jadi jangan dilihat komoditas sawit saja, tetapi [bandingkan dengan] minyak nabati lainnya,” ujarnya, menambahkan bahwa emisi industri sawit juga lebih rendah dari minyak nabati lainnya.
Sekadar catatan, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), produksi CPO tahunan Indonesia yang hanya mencapai 46,72 juta ton pada 2022, lebih rendah dari produksi tahun sebelumnya sebanyak 46,88 juta ton, menurut laporan Gapki.
Capaian tersebut juga memarkahi tahun ke-4 berturut-turut di mana produksi cenderung terus turun/stagnan sejak kelapa sawit diusahakan secara komersial di Indonesia.
(wdh)