Dalam setahun terakhir, harga batu bara acuan di pasar ICE Newcastle (Australia) anjlok 64,68%. Sedangkan harga CPO di Bursa Malaysia jatuh 15,66%.
Selain harga, permintaan pun lesu. Terutama sangat terlihat di negara tujuan ekspor nomor 1 Indonesia, China. Berbagai data ekonomi terbaru memberi konfirmasi bahwa ekonomi China memang lesu.
Penjualan mobil pada Juli turun 1,4% yoy. Jauh memburuk dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 4,8% yoy.
Kemudian penyaluran kredit perbankan pada Juli tumbuh 11,1% yoy. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 11,3% yoy.
Hal yang paling penting, permintaan terhadap barang impor di China turun. Pada Juli, impor China 14,5%. Lebih parah dibandingkan bulan sebelumnya yang turun 12,4% yoy dan menjadi kontraksi terdalam sejak Januari.
“Kemudian, angka PMI (Purchasing Managers’ Index) manufaktur di China masih di bawah 50 yang mengindikasikan fase kontraksi di sektor ini,” sambung Faisal.
Impor Turun, Neraca Dagang Masih Surplus
Untuk impor, konsensus Bloomberg menghasilkan angka median proyeksi pertumbuhan Juli sebesar -15,38% yoy. Membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang -18,35% yoy.
Faisal menambahkan, impor mungkin malah akan tumbuh positif secara bulanan (month-to-month/mtm). Bank Mandiri memperkirakan impor bisa tumbuh 5,31% mtm.
“Penyebabnya adalah aktivitas manufaktur Indonesia yang membaik, ditunjukkan dengan kenaikan PMI dari 52,5 menjadi 53,3 pada Juli,” tulis Faisal.
Meski ekspor turun lebih dalam ketimbang impor, neraca perdagangan Indonesia masih mampu mencetak surplus. Konsensus Bloomberg menghasilkan median proyeksi di US$ 2,56 miliar.
Jika terwujud, maka surplus neraca perdagangan akan terjadi selama 39 bulan beruntun. Namun surplus itu mengecil dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat US$ 3,46 miliar.
(aji/roy)