Korban lainnya, Dicky Senoadji, juga tidak menggunakan jasa pengacara sejak awal kasus ini bergulir. “Tidak pakai kuasa hukum karena saya sudah pasrah. Saya juga tidak percaya kalau pakai kuasa hukum, uang itu bisa balik,” ujarnya Dicky.
Dicky mulai berinvestasi di KSP Indosurya sejak 2010 setelah berkenalan dengan Surya Effendi, ayah Henry Surya. Awalnya, Dicky menginvestasikan uangnya dalam bentuk deposito di PT Asjaya Indosurya Securities dan selama berinvestasi di perusahaan tersebut ia mengaku tidak pernah terjadi kesulitan penarikan dana. Pada 2012, pihak perusahaan meminta bilyet deposito Dicky untuk dipindah ke KSP Indosurya.
“Saya sempat tidak mau karena bukan anggota koperasi tapi mereka mengatakan kalau ini koperasi simpan pinjam sehingga uangnya tetap bisa diambil dan berada di bawah pengawasan OJK. Memang tidak ada penjelasan tertulis atau perjanjian tertulis saat itu tapi karena sama orang yang lama kenal dan tidak pernah ada masalah, saya tidak minta buktinya,” jelasnya.
Dicky menyebut sebanyak Rp 2 miliar uangnya di KSP Indosurya tidak dapat ditarik dan hingga saat ini hanya mendapat ganti rugi sebesar Rp 3,5 juta dalam beberapa kali cicilan yang terakhir diterima pada Desember 2021.
“Beberapa kali mereka kontak saya untuk kasih penawaran ganti rugi berupa villa di dekat Vimala Hills, Gadog, Puncak. Saya mau tahu dulu aset yang ditawarkan itu wajar atau tidak. Waktu saya tanya serius, mereka bilang sudah diambil dan ternyata villa yang ditawarkan adalah villa rusak,” tambahnya.
Selain itu, Dicky menyebut vonis bebas terhadap Henry Surya yang diberikan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat sebagai putusan yang aneh dan membuatnya sakit hati.
“Saat proses persidangan berjalan, salah satu yang bikin benar-benar sakit hati adalah pembelaan Henry Surya di pledoi bahwa dia sudah melakukan ganti rugi, bahkan sampai habis Rp 2,7 triliun. Padahal kalau kita nasabah dikasih kesempatan untuk bicara lagi, kita bisa buktikan kalau itu tidak ada,” kata Dicky.
(tar/wep)