Hapus buku kredit macet UMKM di atas kertas kemungkinan memang bisa mendorong pertumbuhan kredit bank di sektor tersebut ke kisaran 9%-10%, setelah sejauh ini baru membukukan pertumbuhan 7,1%. Efek ganda dari hapus buku bisa diharapkan berupa penambahan serapan tenaga kerja dan perputaran ekonomi di daerah.
Direktur Program INDEF Esther Sri Astuti menambahkan, ada risiko kerugian negara dengan kebijakan hapus buku tersebut. Negara akan kehilangan kesempatan mengalokasikan anggaran ke sektor lain yang lebih produktif.
“Pemerintah jangan hanya bisa membuat kebijakan populis, kalau memang tidak layak tidak usah bagi-bagi. Lebih baik anggaran pemerintah bisa dialokasikan urusan lain yang lebih produktif,” kata Esther.
Sejauh ini, berdasarkan data kolektibilitas kredit UMKM di bank-bank milik negara sampai 31 Desember 2022, jumlah debitur yang tercatat di kelompok kolektibilitas 2 (dalam perhatian) mencapai 912.259 debitur. Sementara yang masuk di kategori 5 alias macet mencapai 246.324 debitur.
Tingginya kredit bermasalah dan kredit macet di sektor UMKM, seharusnya bisa dicegah melalui pembenahan internal bank BUMN. "Jika terjadi kredit macet pihak bank seharusnya dapat menegakkan reward dan punishment. Jika debitur melunasi utangnya harus ada reward untuk analis kredit. Sebaliknya, jika ada kredit macet harus ada punishment untuk analis kredit," katanya.
Mengejar pertumbuhan kredit
Rencana kebijakan hapus buku itu diungkapkan oleh Menteri Koperasi Teten Masduki yang menyebut Presiden Joko Widodo sudah memberikan sinyal persetujuan terkait rencana penghapusan kredit macet UMKM di perbankan nasional.
Penghapusan buku kredit macet itu maksimal untuk plafon Rp5 miliar. Untuk tahap pertama, write off ditempuh untuk kredit macet senilai maksimal Rp500 juta, terutama bagi debitur Kredit Usaha Rakyat.
Bila kebijakan hapus buku ini jadi dilakukan, maka itu menjadi kebijakan kesekian yang sulit dilepaskan dari upaya mendongkrak laju kredit yang lesu saat ini.
Sampai kuartal II lalu, terlihat bila segmen kredit UMKM dan UKM menjadi salah satu tumpuan pertumbuhan kredit selain kredit sektor konsumer seperti kredit pemilikan rumah dan kredit kendaraan bermotor.
Kinerja perbankan yang telah melaporkan laporan keuangan kuartal II-2023, yang berhasil mencatat laju kredit cukup baik di atas rata-rata industri, kebanyakan terbantu oleh kinerja pertumbuhan kredit di sektor-sektor tersebut.
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), misalnya, membukukan pertumbuhan kredit sebesar 8,75% pada kuartal II-2023. Lalu, PT Bank Danamon Tbk (BDMN) dengan capaian pertumbuhan kredit eksepsional di angka 15% pada kuartal II-2023.
Sementara spesialis kredit perumahan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) hanya mampu meraih pertumbuhan kredit 7,52% pada periode yang sama. Sedangkan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) berhasil mencetak laju kredit 9%.
Sampai semester I-2023, penyaluran kredit konsumer BCA berhasil tumbuh 14% di kala kredit korporasi hanya mampu melaju 5,1%. Penyaluran KPR dan KKB menjadi motor utama disusul oleh pertumbuhan sektor komersial dan UKM yang naik 10,9%.
"Kami melihat momentum permintaan kredit yang kuat dari sektor UMKM, sejalan dengan peningkatan aktivitas bisnis di segmen tersebut," kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja.
Adapun capaian buruk beberapa bank yang hanya mampu mencatat pertumbuhan kredit di bawah 5%, kebanyakan adalah karena bank tersebut banyak terkonsentrasi di segmen pembiayaan korporasi.
PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) misalnya yang kreditnya hanya tumbuh tak sampai 5%, meskipun segmen korporasi swasta bluechip mencatat kenaikan 17% secara tahunan. Bank Mandiri sebaliknya banyak tertolong oleh penyaluran kredit komersial yang naik 19% disusul SME/UKM dan konsumer yang masing-masing tumbuh 12% dan 11,3%.
(rui)