"Kurangnya inflasi berarti kurangnya kekuatan harga," kata Mohammed Zaidi, direktur investasi di Nikko Asset Management. "Investor harus mengkalibrasi ulang ekspektasi pendapatan mereka dalam pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat."
Perekonomian China telah menunjukkan ketegangan yang meningkat dalam beberapa pekan terakhir, dengan penurunan tajam pada impor Juli lalu menunjukkan permintaan domestik yang lamban walaupun Beijing telah berupaya memulihkan keyakinan. Pada Jumat (11/8/2023) bank-bank di China juga telah melaporkan tren penurunan jumlah pinjaman bulanan terkecil sejak 2009, yang semakin memperlihatkan upaya pemulihan ekonomi yang lesu.
Hal ini menunjukkan perputaran pendapatan mungkin memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan, terbukti dari pembacaan awal hasil kuartal kedua menunjukkan data yang suram.
Beberapa perusahaan terpaksa menurunkan harga untuk bertahan hidup dalam latar belakang makro yang lemah. Analis memperingatkan bahwa bisnis bisa kolaps jika konsumen memilih untuk menunda pembelian dengan ekspektasi pemotngan harga lebih banyak, yang membuat perusahaan rela mengalami kerugian demi merayu pembeli.
Berdasarkan data yang dikumpulkan Bloomberg, estimasi pendapatan untuk perusahaan-perusahaan di Indeks MSCI China sedikit lebih rendah di bulan Agustus, setelah sebelumnya sempat naik pada Juli.
"Ada risiko laba perusahaan direvisi menurun," kata Wilfred Sit, kepala investasi di Hang Seng Investment Management. "Yang perlu kita lihat sekarang adalah apakah pemerintah mampu menghasilkan semacam kebijakan yang efektif untuk mendorong perekonomian."
Indeks CSI 300 mengalami penurunan lebih dari 3% pekan ini. Sementara indeks saham China yang terdaftar di Hong Kong mencatatkan kerugian di pekan kedua. Keduanya berkinerja buruk di Indeks MSCI Asia Pacific yang lebih luas.
Investor asing, yang membeli saham China selama dua pekan di tengah optimiste pertemuan Politbiro, telah menjual sahamnya setiap hari pekan ini, menarik total 25,5 miliar yuan. Penarikan tersebut adalah yang terbanyak dalam setiap pekan sejak Oktober.
Namun untuk sejumlah investor seperti William Fong, ancaman deflasi kurang menjadi perhatian.
"Beberapa orang mungkin merasa sedikit khawatir, tapi bagi kami, kami benar-benar berpikir kondisi ini dapat memberi lebih banyak ruang bagi para pembuat kebijakan untuk mendorong perekonomian," kata Fong, kepala ekuitas Hong Kong China di Baring Asset Management Asia Ltd. "Jika mereka ingin memotong suku bunga, jika mereka ingin memotong rasio cadangan wajib (Reserve Requirement Ratio), mereka bisa melakukannya."
Ini juga bukan kali pertama China mengalami deflasi. IHK dan IHP pernah turun bersamaan pada 2009 dan 2020. Kinerja saham saat itu beragam, dengan Indeks MSCI China mengalami rebound selama serangan deflasi sebelumnya, tetapi memasuki downward spiral tak lama setelah periode terakhir.
Akan tetapi ada alasan untuk lebih khawatir sekarang. Insentif tambahan untuk meningkatkan pengeluaran sejauh ini tidak cukup menggairahkan konsumen dan bisnis yang dirugikan oleh kebijakan pembatasan selama pandemi Covid-19.
Pihak berwenang juga tidak memiliki kekuatan fiskal untuk menstrimulir perekonomian. Mereka juga tidak bersedia memangkas suku bunga secara agresif agar tidak meningkatkan leverage atau menambah tekanan pada yuan yang sudah lemah.
Komplikasi lainnya adalah China menghadapi deflasi ketika sebagian besar dunia justru mengalami inflasi tinggi. Divergensi dalam kebijakan moneter, yang membebani yuan, merupakan masalah bagi banyak anggota Indeks MSCI China yang melakukan bisnis dengan mata uang China namun memiliki saham dalam dolar AS.
Aninda Mitra, kepala strategi makro dan investasi Asia di BNY Mellon Investment Management mengatakan, fenomena deflasi membutuhkan pendekatan yang lebih terpadu. Namun, para pembuat kebijakan disibukkan dengan mengelola krisis pasar properti dan mengkhawatirkan perbedaan lebih besar dengan suku bunga AS.
"Tetapi tidak melalukan apa pun secara terus menerus melepaskan sedikit dorongan sentimen yang berhasil mereka bangkitkan pada akhir Juli."
--Dengan asistensi Ishika Mookerjee.
(bbn)