Pemerintah pun tidak menetapkan rata-rata besaran pasti dari PSO atau subsidi yang diberikan, karena hal tersebut bergantung kepada kajian dan pembicaraan yang dilakukan dengan operator.
Penyebabnya, PSO yang diberikan harus mampu menutup kesenjangan antara tarif yang mempertimbangkan keterjangkauan masyarakat dengan tarif yang punya nilai keekonomian.
“Makanya, PSO diberikan kepada operator transportasi sehingga tarif yang diterapkan tetap terjangkau dan operator tidak mengalami kerugian,” bebernya.
Senada dengan Presiden Jokowi, Adita menilai subsidi bertujuan untuk membuat tarif angkutan massal tetap terjangkau dan operator tidak mengalami kerugian. Dengan tarif yang terjangkau, diharapkan masyarakat akan memilih menggunakan kendaraan umum dan pada akhirnya bisa mengurangi kemacetan.
Sebagai informasi, sebelumnya Presiden Jokowi mengatakan program PSO berupa subsidi pada tarif transportasi massal harus segera dilakukan.
Akibat kemacetan di Jabodetabek dan Bandung, Jokowi menuturkan total kerugian per tahunnya menyentuh angka yang fantastis yakni Rp100 triliun hanya untuk kemacetan dan secara makro ekonomi merugikan negara sehingga subsidi untuk menarik minat sangat dibutuhkan.
“Bahwa harus ada subsidi, ya, itu kewajiban pemerintah, kewajiban negara, karena ini bentuk pelayanan terhadap masyarakat,” katanya.
Bagaimanapun, dia tidak memerinci skema subsidi tarif transportasi umum tersebut. Menurutnya, kebijakan tersebut secara teknis sedang digodok oleh Kementerian Perhubungan.
“Itu urusannya Menteri Perhubungan [Budi Karya Sumadi], biar dihitung nanti secara teknis. Masak Presiden disuruh ngitung-ngitung seperti itu,” katanya.
(dov/wdh)