Menurut Supari, kebijakan Hapus Tagih tersebut dilakukan perbankan dengan kondisi dan persyaratan tertentu, misalnya bagi nasabah yang terkena bencana alam dan dinyatakan sebagai bencana alam nasional oleh Pemerintah seperti bencana tsunami Aceh tahun 2004 serta telah diputus dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
Selain itu, terhadap kebijakan Hapus Tagih sebagaimana tertuang pada UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), saat ini implementasinya diperlukan peraturan pelaksanaan yang antara lain untuk menentukan kriteria nasabah yang bisa dihapus tagih yang saat ini sedang dirumuskan oleh tim perumus kebijakan Pemerintah.
“Bagi BRI, kebijakan Hapus Tagih ini tidak akan berdampak signifikan terhadap kinerja keuangan perseroan, karena kerugiannya telah di-absorb ketika BRI melakukan penghapus bukuan,” katanya.
Sebagai informasi, hingga akhir Maret 2023, penyaluran kredit perbankan ke sektor UMKM mencapai sebesar Rp1.303,6 triliun atau mengambil porsi 20,2% dari total kredit perbankan. Dengan total kredit UMKM BRI mencapai sebesar Rp989,64 triliun (sebesar 83,9% dari total kredit BRI) maka kontribusi BRI terhadap penyaluran kredit UMKM nasional mencapai 77,8%.
Senada dengan Supari, Corporate Secretary Bank Mandiri Rudi As Aturridha mengatakan bahwa ketentuan mengenai hapus tagih untuk segmen UMKM telah tercantum dalam UU P2SK.
Kebijakan ini bertujuan untuk membuka kesempatan bagi debitur segmen UMKM, terutama yang terkena dampak dari pandemi Covid-19 yang lalu, agar mereka dapat memulai usahanya kembali dan mendapatkan kredit.
“Kami menilai, diperlukan ketentuan turunan agar dapat terlaksana secara tertib seperti persyaratan teknis dan mekanisme penyesuaian informasi debitur di SLIK OJK,” ujarnya.
Saat ini segmen UMKM di Bank Mandiri tumbuh baik. Dengan total kredit di segmen ini mengalami pertumbuhan 8,1% year on year (yoy) menjadi Rp 119,7 triliun dengan kualitas terjaga yakni NPL sebesar 1,5%.
(krz/evs)