Buang air kecil pun kata dia hanya satu kali dan tak mau makan juga tak mau diberi minum. Dia kemudian membawa anaknya ke Rumah Sakit Harapan Bunda Pasar Rebo karena mulai muncul bercak merah di kulitnya. Parahnya, kondisi tubuh bayi tersebut mulai membengkak dan ada tanda kebiruan di kulit. Pada 16 Oktober 2022, bayi Aisha kemudian masuk NICU yakni perawatan super intensif untuk bayi.
"Dipasang kateter pun pipisnya enggak keluar," kata dia lagi. Suara pria tersebut terdengar lebih pelan kali ini.
Dokter di rumah sakit tersebut kemudian mengatakan bayi Aisha mengalami ciri-ciri yang sama dengan gejala kasus bayi yang mengalami GGAPA. Memang sedang marak diberitakan media massa pada saat itu. Bayi itu kemudian dilarikan ke RSCM. Sejak tanggal 16 Oktober hingga November 2022, Nedy mengatakan anaknya harus melakukan cuci darah bahkan hingga 9 kali. Bahkan metode cuci darah kata dia, ada yang sampai berlangsung 72 jam. Dia mengaku merasa sangat terpukul karena sebelumnya bayi perempuan itu selama ini sehat saja.
"Betapa kejamnya cairan kimia yang ada dalam obat sirup itu," ujarnya.
Sekalipun awalnya pasien bayi masuk dengan BPJS Kesehatan, Nedy mengatakan biaya pengobatan dan perawatan juga cukup berat. Tetap ada ekses dalam jumlah besar yang harus dia bayarkan saat berjuang merawat Aisyah. Kalau dihitung-hitung secara total, Nedy mengeluarkan biaya hingga Rp400 juta.
Oleh karena itu dia berharap perjuangan mereka menyuarakan meninggalnya Aisha dan anak-anak lain bisa didengar publik agar tak ada anak lain yang menjadi korban.
Kenapa ada korban lagi ini. Kan obat sirup ini yang mana lagi yang memberi izin kan BPOM
Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayanti
Class Action
Nedy karena itu bersama sejumlah orangtua korban peredaran sirup obat anak yang berbahaya tergabung dalam kelompok Advokasi untuk Kemanusiaan Korban Gagal Ginjal Akut pada Anak. Tak hanya mengadu ke Komisi IX DPR, mereka juga melakukan gugatan class action lewat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Nedy berharap kondisi ini segera dijadikan kejadian luar biasa (KLB) agar penanganannya tidak setengah-tengah.
"Kami dari keluarga pasien yang meninggal dunia harus segera KLB karena mengingat teman-teman kami berjuang di rumah sakit sangat butuh banget bantuan dari pemerintah. Sampai saat ini mereka minum obat dan pampers beli tanggung sendiri," lanjutnya.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Tim Advokasi untuk Kemanusiaan GGAPA Al Araf mengatakan, segala cara berupaya ditempuh agar keluhan dan penderitaan para korban bisa didengarkan. Pihaknya sudah mendatangi legislatif, Ombudsman RI dan bahkan Komnas HAM. Pada akhirnya mereka yang tergabung dalam kelompok ini melakukan gugatan class action 'perwakilan kelompok' ke PN Jakarta Pusat. Sidang lanjutan atas gugatan itu akan disampaikan pada Selasa (7/2/2023).
"Class action pertanggungjawaban terhadap berbagai pihak, pemerintah, Kemenkes, BPOM untuk bertanggung jawab secara hukum dan pengabaian kelalaian dan proses perbaikan sistem kesehatan," kata Al Araf lewat sambungan telepon.
Gugatan didaftarkan dengan dengan nomor perkara 711/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu didaftarkan pada 22 November 2022.
Ada 9 pihak yang digugat para korban yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, PT Universal Pharmaceutical Industry, PT Tirta Buana Kemindo, CV Mega Integra, PT Logicom Solution, CV Budiarta, PT Megasetia Agung Kimia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan.
Menurut Al Araf, seharusnya pemerintah bisa memastikan bahwa obat yang beredar adalah produk aman. Apalagi BPOM juga punya tugas pengawasan. Namun hal itu gagal dilakukan hingga berjatuhan korban bahkan sampai meninggal dunia.
"Keluarga ada yang di Jabodetabek ada juga dari Kalimantan dan lain-lain," kata dia lagi.
Temuan baru kasus gagal ginjal akut pada anak diumumkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Diagnosis GGAPA ditemukan lagi sebanyak dua kasus. Satu pasien meninggal dunia sementara pasien lainnya sedang dalam perawatan dengan status suspek. Kasus gagal ginjal akut ini diduga karena konsumsi obat sirup pada anak. Seorang anak yang meninggal diketahui meminum obat sirop merek Praxion. Meski masih dicek lebih lanjut di laboratorium, namun obat sirup tersebut menurut Kemenkes telah ditarik pihak produsen secara sukarela.
“Penambahan kasus tercatat pada tahun ini, satu kasus konfirmasi GGAPA dan satu kasus suspek,” ujar Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr M Syahril.
Sejak Desember 2022 diketahui tidak ditemukan kasus baru GGAPA. Kemenkes menjelaskan bahwa satu kasus konfirmasi GGAPA merupakan anak berusia 1 tahun. Pasien mengalami demam pada tanggal 25 Januari 2023. Dia kemudian diberikan obat sirup penurun demam yang dibeli di apotek dengan merek Praxion. Pada tanggal 28 Januari 2023, pasien mengalami batuk, demam, pilek, dan tidak bisa buang air kecil (anuria) kemudian dibawa ke Puskesmas Pasar Rebo untuk mendapatkan pemeriksaan. Lalu pada tanggal 31 Januari mendapatkan rujukan ke Rumah Sakit Adhyaksa.
Lalu pada tanggal 1 Februari 2023, orangtua membawa pasien ke RS Polri dan mendapatkan perawatan di ruang IGD. Pada saat itu pasien sudah mulai buang air kecil. Pada tanggal 1 Februari 2023, pasien kemudian dirujuk ke RSCM untuk mendapatkan perawatan intensif sekaligus terapi fomepizole. Namun kata dia setelah 3 jam di RSCM pasien anak itu dinyatakan meninggal dunia.
Dengan tambahan kasus baru GGAPA, hingga 5 Februari 2023 tercatat 326 kasus GGAPA dan satu suspek yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia. Dari jumlah tersebut 116 kasus dinyatakan sembuh sementara 6 pasien lainnya masih menjalani perawatan di RSCM Jakarta.
Tanggung Jawab
Menyikapi adanya kasus baru GGAPA ini, Anggota Komisi Kesehatan DPR Kurniasih Mufidayanti menekankan bahwa dalam hal ini BPOM RI harus menunjukkan tanggung jawab sebagai sebagai pemberi izin sekaligus pengawasan.
"Masalah ada di BPOM obat-obat yang dikonsumsi kan berdasarkan resep dokter di mana pengawasan BPOM ini kurang maksimal," kata Kurnasih dari Fraksi PKS tersebut saat dihubungi Bloomberg Technoz.
Dia mengatakan, pada November 2022 silam, Komisi IX melakukan rapat dengan Kemenkes dan BPOM dan mereka menyatakan akan bertanggung jawab. Namun ironisnya tiga pekan lalu pihak keluarga korban beraudiensi dengan Komisi IX dan menyatakan belum mendapatkan perhatian maupun santunan. Sementara pada akhir rapat dengan DPR kata dia baik pihak Kemenkes dan BPOM sudah menandatangani akan bertanggung jawab. Bak kecolongan lanjutan, hal ini terjadi lagi akibat jenis obat sirup untuk anak.
"Kenapa ada korban lagi ini. Kan obat sirup ini yang mana lagi yang memberi izin kan BPOM," lanjutnya.
Ketua BPOM Penny K.Lukito dihubungi pada Senin siang lewat pesan WhatsApp namun tidak merespons hingga Senin malam.
Sementara harapan sederhana bahkan sebelum sampai kepada putusan gugatan class action disampaikan keluarga korban. Mereka meminta paling tidak suara mereka diindahkan dan ketika membawa hal ini ke muka pengadilan maka pihak yang terkait bisa merespons dengan baik. Sayangnya kata Nedy, tidak demikian adanya.
"Hal terkecil dahulu deh masing-masing pihak tergugat hadir di persidangan dan tunjukkan wajah kalian kalau kalian memang berada di posisi yang benar. Kemarin yang ada hanya 4 tergugat dari 11," kata ayah bayi Aisha itu.
(ezr)