Pada akhirnya, perusahaan pun harus menggunakan komponen yang diuji dari luar negeri, salah satunya Jepang, untuk memastikan keamanan dan keselamatan penumpang di MRT.
“Contoh, kampas rem pasti punya spek atau kualitas tertentu. Ini untuk spek dan kualitas di regulasi sudah diatur belum [standarnya]? Kalau kita pakai spek lain kan bahaya. Kalau pun sudah diatur, begitu dikeluarkan di pabrik pasti harus diuji. Ternyata, enggak ada alat penguji atau tools-nya,” bebernya.
Direktur Operasi dan Pemeliharaan Muhammad Effendi mengatakan pemenuhan TKDN MRT sepanjang tahun berjalan baru mencapai 47,05%. Angka ini masih jauh dari target penggunaan komponen lokal hingga 65% sesuai dengan kesepakatan dalam ODA Loans.
MRT Jakarta pun terus berupaya untuk meningkatkan angka tersebut dan menargetkan penggunaan 53,29% komponen dalam negeri pada 2030.
“Target pada 2030 adalah 53,29%, karena kita harus realistis. Kita mau penggunaan komponen dalam negeri hingga 90%, tetapi [melihat] kondisi dalam negeri dan produsen. Itu target yang realistis. Kalau pemerintah mendukung, itu pasti bisa lebih cepat tercapai,” terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Koordinator Fungsi Industri Kereta Api, Transportasi Udara, dan Alat Pertahan Kementerian Perindustrian Andi Komara mengatakan beberapa komponen dalam negeri sudah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI). Namun, proses produksi komponen terkendala ketersediaan laboratorium alat uji.
“Tadi disampaikan Badan Standarisasi Nasional [BSN], ada 36 SNI. Contohnya rem block composite. Itu SNI sudah ada, tetapi kalau diimplementasikan dari 10 parameter, baru 4 parameter yang bisa diuji, sisanya belum karena terkendala alat uji,” katanya.
Menurutnya, fasilitas laboratorium pengujian membutuhkan intervensi pemerintah dari segi pendanaan. Terlebih, dibutuhkan investasi yang sangat besar karena laboratorium tersebut digunakan hanya untuk menguji produk-produk tertentu.
(dov/wdh)