Untuk mengejar ketertinggalan dari target tersebut, kata Arifin, pemerintah sebenarnya sudah memacu beberapa program pengurangan emisi. Misalnya, konversi dari penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dan energi fosil yang ditarget mencapai 1,5 GW pada 2025.
Dalam kaitan itu, pemerintah sudah memulai program bauran energi di proyek-proyek pembangkit berbasis batu bara, yaitu dengan menggunakan campuran biomassa untuk mengurangi emisi pembangkit batu bara.
Dia juga menegaskan cara lain yang paling realistis dan cepat dilakukan untuk mengejar target bauran energi adalah dengan memanfaatkan sumber energi surya dan angin. Menurutnya, secara geografis, Indonesia sendiri juga merupakan negara tropis yang berlokasi di garis khatulistiwa.
"Kita juga punya banyak lahan. Pertanyaannya, ada tidak industri pendukungnya? Energi matahari ini, China sudah mengimplementasikan sejak 12 tahun lalu. Sekarang mereka menjadi negara penghasil produk-produk panel surya terbesar di dunia. Kapasitas produksi solar China 400—500 GW dengan memanfaatkan sumber daya mineral. Sebenarnya kita juga punya [bahan baku] untuk panel surya. Hanya, kita harus meng-create demand," ujarnya.
Sekadar catatan, Indonesia telah beberapa kali menggaungkan niat berburu investor rantai pasok PLTS, guna mencapai target pengembangan industri PLTS terintegrasi dengan kapasitas produksi listrik minimal 10 GW di dalam negeri.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan pemerintah tengah gencar mencari peluang kerja sama dengan calon investor asing untuk membangun proyek tenaga surya terintegrasi di dalam negeri –yang bakal diluncurkan pada akhir Juli atau awal Agustus oleh Presiden Joko Widodo.
(ibn/wdh)