Sebelumnya, Presiden The Fed Atlanta Raphael Bostic menyebut data ketenagakerjaan yang kuat membuat bank sentral mungkin perlu menaikkan suku bunga lebih tinggi dari perkiraan.
Selain faktor The Fed, investor juga menanti dampak dari rencana AS mengenakan sanksi baru terhadap Rusia. Tersiar kabar bahwa pemerintahan Presiden Joe Biden akan mengenakan bea masuk 200% untuk aluminium dari Negeri Beruang Merah.
Koreksi juga disebabkan oleh kenaikan harga saham yang sudah cukup tajam sejak awal tahun. Bahkan indeks Nasdaq 100 sudah dekat dengan bull market.
“Indeks-indeks besar sudah menjadi jenuh beli (overbought) setelah reli yang kuat bulan lalu. Kami tidak bilang bahwa koreksi jangka pendek akan diikuti oleh reli lanjutan, bahkan kami meyakini koreksi jangka pendek akan berubah menjadi bear market,” tegas Matt Maley, Chief Market Strategist di Miller Tabak + Co.
Michael Wilson dari Morgan Stanley berpendapat valuasi yang sudah tinggi, laporan keuangan emiten yang lemah, dan kenaikan suku bunga akan membuat ruang reli menjadi terbatas. Sementara Solita Marcelli dari UBS Global Wealth Management menilai imbalan dari aset-aset berisiko sudah kurang menarik. Marcelli merekomendasikan investor saham mengambil posisi defensif dan bersiap untuk pasar yang volatil.
“Kami tetap bearish terhadap saham. Proyeksi laba emiten, The Fed, dan berbagai faktor lain belum berubah. Saham yang dibeli sekarang akan membuat tekanan semakin bertambah,” kata Eric Johnson dari Cantor Fitzgerald.
(bbn)