Berdasarkan data yang dihimpun Faisal, pada 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72), yang diklaim sebagai hasil penghiliran adalah US$27,8 miliar. Jika rerata nilai tukar rupiah 2022 sejumlah Rp14.876/US$, nilai ekspor besi dan baja HS 72 tahun lalu setara dengan Rp413,9 triliun.
“Lalu, dari mana angka Rp510 triliun [yang diklaim oleh Jokowi itu]?” tulisnya. “Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungan saya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis.”
Akan tetapi, Faisal berkeras bahwa mayoritas capaian fantastis ekspor produk derivatif nikel itu tidak mengalilr ke pendapatan negara. Hal itu tecermin dari banyaknya smelter nikel di Tanah Air dimiliki 100% oleh China. Di sisi lain, RI menganut rezim devisa bebas, yang berarti perusahaan China berhak membawa semua hasil ekspornya ke negara mereka sendiri.
Belum lagi, tuding Faisal, perusahaan nikel China tidak menyetor royalti ke Indonesia. Alih-alih, pihak yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional.
Meski menolak mentah-mentah program penghiliran nikel yang disebutnya “ugal-ugalan”, Faisal menggarisbawahi bahwa dia mendukung upaya industrialisasi di dalam negeri.
“Kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21,1% pada 2014 menjadi hanya 18,3%pada 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir,” lanjutnya.
Salah Kaprah Ekspor Baja
Pada perkembangan lain, Faisal menyoroti smelter nikel yang tidak memperdalam struktur industri domestik. Hal itu tecermin dari laporan ekspor baja HS 72 yang diproduksi dan diekspor, yang menjadi acuan Presiden.
Baja HS 72, padahal, memiliki banyak jenis. Adapun, hampir 50% ekspor HS72 masih dalam bentuk ferro alloy atau feronikel, bahkan ada juga yang masih dalam format nickel pig iron (NPI) dan nickel matte.
“Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China. Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia. Dalam porsi yang jauh lebih rendah adalah semi-finished products. Sejauh ini tak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi baterai untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China,” tulis Faisal.
Kalkulasi Nilai Tambah
Menurutnya, untuk menghitung dampak penghiliran terhadap perekonomian nasional, tidak sekadar dilihat dari nilai ekspor yang dihasilkan. Akan tetapi, nilai tambah itu dihitung berdasarkan selisih antara produk smelter dan bijih nikel.
“Nilai tambah dinikmati pengusaha berupa laba, pemodal dalam bentuk bunga, pekerja dalam bentuk upah, pemilik lahan dalam bentuk sewa. Hampir semua smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air.”
Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan, tetapi nilainya diklaim sangat kecil.
“Jadi nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan China. Nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter China makin besar karena mereka membeli bijih nikel dengan harga supermurah. Pemerintah sangat bermurah hati menetapkan harga bijih nikel jauh lebih rendah dari harga internasional.”
Presiden Joko Widodo sebelumnya menampik tudingan ekonom senior Faisal Basri bahwa strategi penghiliran nikel yang digalakkan pemerintah justru lebih menguntungkan China, serta memicu deindustrialisasi di dalam negeri.
Dia berkeras bahwa manfaat penghiliran sektor pertambangan nikel sudah terbukti bagi perekonomian Indonesia, khususnya dalam hal penerimaan pajak dan kinerja ekspor.
Menurut perhitungan Kepala Negara, torehan ekspor nikel saat masih dijual dalam bentuk mentah hanya mencapai sekitar Rp17 triliun. Setelah diolah melalui penghiliran, nilai tersebut melonjak menjadi Rp510 triliun.
“Bayangkan saja, kita, negara hanya mengambil pajak. Mengambil pajak dari Rp17 triliun sama mengambil pajak dari Rp510 triliun, gedean mana?” ujarnya selepas melakukan peninjauan Light Rail Transit (LRT) di Stasiun Dukuh Atas, Kamis (10/8/2023), dikutip dari laman Sekretariat Kabinet.
Lebih lanjut, dari upaya penghiliran nikel, Indonesia bisa mendapatkan kenaikan penerimaan baik dari pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, biaya ekspor, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Jokowi pun menampik bahwa program hilirisasi berbanding terbalik dengan kontribusi sektor manufaktur yang terus menurun terhadap produk domestik bruto (PDB). Menurutnya, itu bukan logika yang mencerminkan telah terjadi deindustrialisasi di dalam negeri.
“Ini logikanya tidak seperti itu. Logikanya tadi sudah diberikan angka itu. Bagaimana sih? Artinya apa? Kontribusi [sektor industri pengolahan] terhadap PDB pasti lebih gede dong. Logikanya bagaimana?”
(wdh/wep)