Logo Bloomberg Technoz

Pertama, penetapan 'national champions' yakni sektor komoditas spesifik yang memiliki keunggulan kompetitif.

"Keberhasilan kebijakan hilirisasi dalam jangka menengah akan sangat tergantung pada bagaimana pemerintah Indonesia membentuk perekonomian dengan berfokus pada sektor prioritas atau ‘national champions’ dibandingkan dengan menjadikan semua sektor sebagai prioritas," jelas Teuku Riefky, ekonom LPEM Universitas Indonesia.

Sektor prioritas bisa dipilih berdasarkan daya saing, keunggulan kompetitif dan bagaimana potensi industri hilir komoditas tersebut di pasar global dengan mempelajari tren permintaan global di masa depan.

"Kebijakan larangan ekspor [proteksionisme] nikel mungkin di satu sisi bermanfaat untuk dukung agenda hilirisasi, akan tetapi tidak ada dasar bagi pemerintah melarang ekspor produk mineral mentah lain yang tidak memiliki keunggulan kompetitif di pasar global seperti timah dan bauksit," kata Riefky.

Kedua, investasi sumber daya manusia dan peningkatan teknologi. Studi menyebut, butuh waktu lebih dari satu dekader bagi sebuah industri untuk menciptakan keunggulan kompetitif dan dalam proses itu ia membutuhkan peningkatan keterampilan manusia, juga investasi produk dan proses.

Pemerintah perlu fokus menyediakan pendidikan kejuruan, peningkatan keahlian dan pelatihan SDM yang sesuai dengan kebutuhan industri. Menarik investasi yang bisa merangsang transfer of knowledge dan teknologi, bisa ditempuh lewat pemberian insentif selama proses awal industrialisasi. "Namun, setelah itu, pemanfaatan sumber daya dalam negeri harus menjadi prioritas," kata Riefky.

Ketiga, memberi insentif fiskal bagi industri hilir dan memberlakukan skema reward-punishment bagi sektor-sektor tersebut. Insentif pajak bagi industri hilir bisa berupa fasilitas bea masuk, pembebasan pajak, dan tunjangan pajak. 

"Namun, pemerintah juga harus menetapkan Key Perfomance Indicator sebagai trade-off dari perlakuan istimewa bagi industri hilir tersebut. Bila tidak mampu bersaing di pasar global dalam jangka waktu, juga perlu ada sanksi-nya," imbuh Riefky.

Keempat, menyusun 'Grand Design pengembangan industri'. Indonesia perlu memiliki pemetaan spasial strategi industri terutama terkait penyediaan infrastruktur transportasi, energi dan kesiapan sumber daya manusia setempat.

"Penting juga untuk mengetahui kebutuhan rantai pasok industri dan menguatkan sinergi antar industri agar ada kepastian pasokan bahan baku bagi industri hilir di dalam negeri," jelas Riefky.

Rantai nilai domestik industri nikel (Dok. LPEM UI)

Risiko Larangan Ekspor

Kebijakan hilirisasi yang diikuti langkah pelarangan ekspor, bukan tidak memiliki risiko. Selain memangkas peluang pendapatan devisa negara dan memicu distorsi pasar, ada juga risiko pembalasan dari mitra dagang yang juga dapat memicu pergeseran signifikan dalam rantai pasok global dengan berpindahnya konsumen ke pasar prospektif lain.

Ilustrasi Nikel (Sumber: Bloomberg)

"Sepanjang sejarah, implementasi kebijakan larangan ekspor di Indonesia tidak pernah berjalan mulus, mulai dari larangan ekspor kayu bulat, rotan dan lain sebagainya. Sebagian karena penerapan larangan ekspor tidak diikuti oleh investasi yang memadai untuk industri hilir yang akhirnya diterjemahkan menjadi penurunan Produk Domestik Bruto. Meski mungkin nilai tambah yang dihasilkan oleh hilirisasi sebenarnya lebih tinggi," jelas laporan riset yang disusun oleh Macroeconomic and Political Economy Research Group Universitas Indonesia.

Pemerintah melarang ekspor bijih nikel mulai 2020 sehingga angkanya menjadi nol tahun itu dari semula US$ 1 miliar. Pendapatan dari pungutan ekspor pun hilang, sementara pungutan atas produk hilir nikel juga belum ada.

"Dengan asumsi nilai ekspor bijih nikel konstan dan tarif pungutan ekspor 10%, penurunan penerimaan pungutan ekspor diperkirakan sekitar Rp4,84 triliun selama tiga tahun pertama sejak larangan diberlakukan," demikian tertulis dalam riset.

Belum lagi bila menghitung hilangnya peluang devisa hasil ekspor dari penjualan nikel ke luar negeri.

Dampak negatif lain adalah produsen dipaksa memangaks produksi karena permintaan otomatis turun karena adanya larangan, sementara kapasitas smelter di dalam negeri juga masih terbatas. 

Produk bijih nikel anjlok 21% pada 2020. Perlu dicatat, pelarangan ekspor nikel itu bukan yang pertama kalinya. Pada 2014, Indonesia pernah melarang ekspor nikel sehingga produksi bijih nikel langsung amblas 85% tahun itu. Pelarangan tanpa diikuti investasi hilir berupa smelter baru yang memadai, membuat industri hulu nikel berteriak kesulitan. 

Pemerintah akhirnya melonggarkan lagi pada 2017 didorong oleh melebarnya defisit neraca dagang. Nah, pada 2020 kebijakan yang sama kembali berlaku disusul peningkatan jumlah smelter menjadi 15 smelter sampai November 2022. 

Kerugian lain adalah penurunan penerimaan negara dari sektor pertambangan yaitu dari Rp44.920 triliun pada 2019 menjadi Rp34.650 triliun pada 2020.

"Larangan ekspor bijih nikel dalam jangka pendek juga merugikan kegiatan pertambangan. Karena penambang terpaksa menjual bijih ke smelter domestik dengan harga yang diatur oleh pemerintah, mereka membukukan kerugian karena harga domestik yang lebih rendah dibandingkan dengan tren meroketnya harga pasar internasional selama periode 2020 – 2022," jelas Riefky.

Dampak buruk larangan ekspor adalah meningkatnya risiko pembalasan dari mitra dagang internasional. Uni Eropa menang pengajuan gugatan atas kebijakan RI itu ke WTO, walau terakhir Indonesia melawan dengan menggugat balik Eropa terkait kebijakan bea masuk antidumping Uni Eropa untuk produk turunan nikel kadar tinggi, baja nirkarat, atau stainless steel.

Ada pula risiko konsumen nikel dunia akan beralih ke negara penghasil lain seperti Filipina, Kaledonia Baru dan negara-negara lain.

Hasil Sejauh Ini

Studi sebelumnya yang digelar oleh LPEM UI pada 2019, menghitung manfaat ekonomi yang dihasilkan dari tiga skenario kedalaman hilir, menemukan bahwa pengganda yang tercipta akan tinggi apabila semua produk bijih nikel diproses di dalam negeri.

Total nilai pengganda output adalah 3,07% bila seluruh bijih nikel diolah di dalam negeri. Sementara bila hanya 50% diproduksi di dalam negeri, nilai pengganda hanya 2,24. Sedang bila seluruh produk bijih nikel diekspor, pengganda hanya 1,44.

Sejak hilirisasi nikel diterapkan, realisasi nilai penanaman modal asing di Indonesia tercatat lebih tinggi. Sampai November lalu ada 15 smelter nikel, di mana sampai 2024 ditargetkan akan bertambah menjadi 53 smelter. Total nilai investasi untuk 30 smelter nikel mencapai US$8 miliar.

Periode 2019-2022, realisasi PMA untuk Industri Logam Dasar, Barang Logam, Bukan Mesin dan Peralatan tercatat tumbuh rata-rata 50,5%.  Realisasi PMA untuk subsektor tersebut tercatat sebesar US$10,96 miliar pada akhir 2022.

Akan tetapi, belum terlihat ada kenaikan jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur walaupun pemerintah mengklaim ada penyerapan 70.000 tenaga kerja di pabrik peleburan nikel di mana 4.000 tenaga kerja adalah warga asing. 

Kritik Hilirisasi

Faisal Basri, Ekonom Senior INDEF dalam Workshop 'Ada Apa Dengan Cipta Kerja (Selasa/24/1/2023). (Dok. Tangkapan Layar)

Dalam kesempatan berbeda, ekonom senior Faisal Basri memberi kritik keras terhadap kebijakan hilirisasi yang digadang-gadang pemerintah sejauh ini. Penghiliran sektor pertambangan mineral saat ini dinilai tidak selaras dengan semangat industrialisasi. Menurut Faisal, investasi nikel dari China selama ini justru mengarahkan RI pada deindustrialisasi.

Dalam kaitan itu, dia menjelaskan penghiliran –atau ‘hilirisasi’ dalam istilah pemerintah– berbeda dengan industrialisasi. Menurutnya, penghiliran tidak otomatis menghasilkan industrialisasi, tetapi industrialisasi akan mengarah langsung pada penghiliran secara umum.

Kenapa pemerintah menggunakan istilah hilirisasi? Karena memang Indonesia tidak memenuhi syarat industrialisasi yang sehat. Contohnya, bijih nikel tidak boleh ekspor. Diolah sedikit menjadi nickel pig iron [NPI] atau feronikel, tetapi bukan dipakai di dalam negeri. Kalau dipakai di dalam negeri, penghiliran itu akan mengurangi impor bahan baku industri baja. Kan masih impor bahan bakunya,” ujarnya dalam sebuah diskusi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Selasa (8/8/2023).

Menurutnya, selama ini pelaku industri –khususnya baja– dipaksakan untuk menggunakan produk di dalam negeri, bukan dari dalam negeri.

Dia pun mengutarakan nikel yang diekspor dari Indonesia masih menggunakan harga yang ditetapkan oleh bursa Shanghai sekitar US$82,7 per ton. Di sisi lain, smelter di Indonesia membeli dengan harga patokan hanya US$40,9 per ton.

Kan tolol. Harganya cuma separuhnya, tetapi yang dinikmati penambang nikel [di Indonesia] cuma US$20 per ton. Perintah cuma diam, yang benar ini negara China atau Indonesia? Kok semuanya China yang atur? [Komoditas] pertambangan tidak bisa dijual ke smelter, harus lewat trader, dan trader-nya dia [China] yang menentukan dan harus lewat surveyor, dan surveyornya dia yang menentukan,” jelas Faisal.

Survei kadar nikel pun harus dilakukan sebanyak dua kali di pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar. Jika didapati perbedaan atau selisih kadar magnesium di bawah 1,58%, pengusaha dikenai denda US$5 per ton.  

“Belum lagi, mereka [investor nikel dari China] itu 20 tahun tidak bayar pajak, tetapi diberi tax holiday. Saya sudah bilang ke Luhut [Binsar Pandjaitan], apakah layak dapat tax holiday? Modalnya dari mereka 100%, untungnya lari ke China, lalu Indonesia dapat apa?” kata Faisal.

Faisal menambahkan, dalam setahun, perusahaan tambang nikel asal China bisa mengeruk 1,6 juta ton. Dengan cadangan Indonesia yang mencapai sekitar 21 juta ton, pasok tersebut diprediksinya habis dalam 13 tahun.

“Skandal ini merugikan negara ratusan triliun rupiah. Hitung saja semuanya. Tenaga kerjanya tidak pakai visa, cuma secarik kertas yang dibilangnya tenaga ahli. Mulai dari tukang kebun hingga juru masak. Oleh karena itu, mereka tidak bayar visa US$100 per orang per bulan. Ini kerugiannya dahsyat,” tutur Faisal. 

-- dengan bantuan laporan dari Arif Surbakti.

(rui)

No more pages