Jokowi pun menampik bahwa program hilirisasi berbanding terbalik dengan kontribusi sektor manufaktur yang terus menurun terhadap produk domestik bruto (PDB). Menurutnya, itu bukan logika yang mencerminkan telah terjadi deindustrialisasi di dalam negeri.
“Ini logikanya tidak seperti itu. Logikanya tadi sudah diberikan angka itu. Bagaimana sih? Artinya apa? Kontribusi [sektor industri pengolahan] terhadap PDB pasti lebih gede dong. Logikanya bagaimana?”
Sebelumnya, Faisal Basri menilai jorjoran program penghiliran nikel yang dihelat Pemerintah Indonesia beberapa tahun terakhir, sejatinya lebih menguntungkan China alih-alih industri di dalam negeri.
Menurutnya, fokus kebijakan yang dibutuhkan Indonesia saat ini bukanlah penghiliran, tetapi industrialisasi. Terlebih, dia mencatat kontribusi sektor manufaktur terhadap pendapatan pajak terus menurun.
Pada 2017, kontribusi manufaktur terhadap rasio pajak di Indonesia mencapai 32%. Namun, realisasi tersebut merosot menjadi 27,4% pada tahun berjalan 2023. Untuk itu, Faisal pun menilai pemerintah salah mendiagnosis kebijakan yang seharusnya ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut.
“Sayangnya [di Indonesia] tidak ada strategi industrialisasi, adanya kebijakan hilirisasi. Kalau industrialisasi itu memperkuat struktur perekonomian, struktur industri, dan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Kalau hilirisasi, sekadar dari bijih nikel menjadi NPI atau feronikel, tetapi 90% diekspor ke China. Jadi penghililran di Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China,” ujarnya dalam sebuah diskusi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Selasa (8/8/2023).
Dia pun mengutarakan nikel yang diekspor dari Indonesia masih menggunakan harga yang ditetapkan oleh bursa Shanghai sekitar US$82,7 per ton. Di sisi lain, smelter di Indonesia membeli dengan harga patokan hanya US$40,9 per ton.
“Kan tolol. Harganya cuma separuhnya, tetapi yang dinikmati penambang nikel [di Indonesia] cuma US$20 per ton. Perintah cuma diam, yang benar ini negara China atau Indonesia? Kok semuanya China yang atur? [Komoditas] pertambangan tidak bisa dijual ke smelter, harus lewat trader, dan trader-nya dia [China] yang menentukan dan harus lewat surveyor, dan surveyornya dia yang menentukan,” tegas Faisal.
Dia melanjutkan survei kadar nikel pun harus dilakukan sebanyak dua kali di pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar. Jika didapati perbedaan atau selisih kadar magnesium di bawah 1,58%, pengusaha dikenai denda US$5 per ton.
“Belum lagi, mereka [investor nikel dari China] itu 20 tahun tidak bayar pajak, tetapi diberi tax holiday. Saya sudah bilang ke Luhut [Binsar Pandjaitan], apakah layak dapat tax holiday? Modalnya dari mereka 100%, untungnya lari ke China, lalu Indonesia dapat apa?”
Faisal menambahkan, dalam setahun, perusahaan tambang nikel asal China bisa mengeruk 1,6 juta ton. Dengan cadangan Indonesia yang mencapai sekitar 21 juta ton, pasok tersebut diprediksinya habis dalam 13 tahun.
“Skandal ini merugikan negara ratusan triliun rupiah. Hitung saja semuanya. Tenaga kerjanya tidak pakai visa, cuma secarik kertas yang dibilangnya tenaga ahli. Mulai dari tukang kebun hingga juru masak. Oleh karena itu, mereka tidak bayar visa US$100 per orang per bulan. Ini kerugiannya dahsyat,” tutur Faisal.
(wdh)