“Kalau terjadi moral hazard dan adverse selection (salah memilih debitur) maka hapus buku ini seolah negara mensubsidi debitur yang nakal dan mensubsidi bank yang analisa kreditnya bermasalah,” ujar Bhima kepada Bloomberg Technoz, Kamis (10/8).
Bhima mengatakan, hapus buku UMKM diperkirakan dapat mendorong ekonomi pada sektor riil terutama pertumbuhan penyaluran pinjaman segmen UMKM. Sejauh ini pertumbuhan kredit UMKM baru mencapai 7,1% yoy. Dengan hapus buku idealnya bisa tumbuh di atas 9-10% meski lembaga keuangan tetap mempertimbangkan kemampuan debitur dan situasi eksternal.
“Penyaluran pinjaman baru UMKM ujungnya akan mendorong penambahan serapan tenaga kerja dan perputaran ekonomi di daerah,” tambah Bhima.
Kerugian Negara
Sementara itu Direktur Program INDEF Esther Sri Astuti berpendapat, upaya penghapusbukukan kredit macet UMKM di bank pemerintah berpotensi merugikan negara. Selain itu negara akan kehilangan kesempatan atau oportunity lost untuk mengalokasikan anggarannya pada sektor lain yang lebih produktif.
Untuk mencegah itu, kata Esther, yang harus dilakukan pemerintah adalah membenahi pihak internal bank khususnya bank BUMN. Bank harus melakukan monitoring evaluasi dan pembenahan. Esther menilai seorang analis kredit tugasnya tidak hanya saat pencairan kredit saja. Namun, harus bisa menganalisis UMKM mana saja yang layak mendapatkan kredit atau tidak hingga debitur dapat melunasi kredit tersebut.
"Jika terjadi kredit macet pihak bank seharusnya dapat menegakkan reward dan punishment. Jika debitur melunasi utangnya harus ada reward untuk analis kredit. Sebaliknya, jika ada kredit macet harus ada punishment untuk analis kredit," katanya.
Sementara dari sisi eksternal, tambah Esther, debitur (UMKM) harus mendapatkan peringatan jika sudah pada kategori hampir kredit macet. Namun, sebelum itu harus ada studi kelayakan pada UMKM apakah berhak atau tidak untuk mendapatkan kredit.
Esther menambahkan, untuk mendapatkan status layak, debitur harus menyertakan agunan yang bisa disita jika status kreditnya macet.Namun, jika tidak ada agunan seperti KUR akan sulit karena ketika macet tidak ada yang bisa disita sehingga negara rugi.
“Pemerintah jangan hanya bisa membuat kebijakan populis (kredit tanpa agunan) kalau memang tidak layak tidak usah bagi-bagi. Lebih baik anggaran pemerintah bisa dialokasikan urusan lain yang lebih produktif,” kata Esther.
Kredit macet di kalangan pengusaha UMKM saat ini menjadi perhatian serius pemerintah. Berdasarkan data kolektibilitas kredit UMKM pada anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) per 31 Desember 2022, jumlah debitur yang masuk kolektibilitas 2 atau dalam perhatian sebanyak 912.259, sedangkan kolektibilitas 5 atau macet sebanyak 246.324 debitur.
(mfd/evs)