Permendikbudristek PPKSP juga menghilangkan area abu-abu dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan bentuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual serta diskriminasi dan intoleransi untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan kekerasan. Tak hanya mengatur tindakan kekerasan, Permendikbudristek ini juga memastikan tidak adanya kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan di satuan pendidikan.
“Peraturan yang baru ini juga tegas menyebutkan bahwa tidak boleh ada kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan, baik dalam bentuk surat keputusan, surat edaran, nota dinas, imbauan, instruksi, pedoman, dan lain-lain,” lanjut Nadiem dikutip dari laman Setkab yang diunggah Rabu (9/8/2023).
Permendikbudristek PPKSP juga mengatur mekanisme pencegahan yang dilakukan oleh satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan Kemendikbudristek serta tata cara penanganan kekerasan yang berpihak pada korban yang mendukung pemulihan. Satuan pendidikan juga diamanatkan untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) serta pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas).
TPPK dan Satuan Tugas perlu dibentuk dalam waktu 6 sampai 12 bulan setelah peraturan ini disahkan agar kekerasan di satuan pendidikan dapat segera tertangani. Kemudian jika ada laporan kekerasan, dua kelompok kerja ini harus melakukan penanganan kekerasan dan memastikan pemulihan bagi korban. Sedangkan sanksi administratif diberikan kepada pelaku peserta didik dengan mempertimbangkan sanksi yang edukatif dan tetap memperhatikan hak pendidikan.
Berdasarkan data hasil survei Asesmen Nasional tahun 2022, sebanyak 34,51% peserta didik (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual. Lalu 26,9% peserta didik (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik dan 36,31% (1 dari 3) berpotensi mengalami perundungan.
Temuan itu juga dikuatkan oleh hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tahun 2021 yakni 2% anak laki-laki dan 25,4% anak perempuan usia 13 sampai dengan 17 tahun mengaku pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih dalam 12 bulan terakhir.
Data aduan yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada perlindungan khusus anak tahun 2022 juga menyebutkan kategori tertinggi anak korban kejahatan seksual yakni anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis. Juga ada anak korban pornografi dan kejahatan siber sebanyak 2.133.
(ezr)