China hingga kini masih belum merilis perhitungan resmi terkait korban tewas sejak Topan Doksuri menghantam pantai timur dan mengirim hujan lebat ke Utara, pada 28 Juli lalu. Dua kota di provinsi Hebei, yang berbatasan dengan Beijing, mengatakan setidaknya 15 orang dinyatakan tewas. Data terakhir kali diperbaharui empat hari lalu.
Sementara itu, tidak ada kematian yang dilaporkan di Zhuozhuo, sebuah kota pada wilayah Hebei, yang mengalami banjir terparah di wilayah tersebut. Padahal sejumlah unggahan di media sosial mengindikasikan adanya korban jiwa. Xinhua News Agency mengatakan, lebih dari 130.000 orang terkena dampak banjir di Zhuozhuo, yang berpenduduk sekitar 630.000 jiwa, 1 Agustus lalu.
Departemen informasi provinsi Hebei di Shijiazhuang, ibu kota provinsi Hebei, tidak menjawab panggilan pada Rabu.
Sementara itu, Shulan, di provinsi timur laut Jilin, melaporkan pada Minggu (6/8/2023) bahwa 14 orang tewas akibat bencana alam itu. Berdasarkan laporan Xinhua, tiga dari mereka merupakan petugas yang bekerja untuk mengevakuasi orang-orang yang terjebak, sementara empat orang lainnya masih hilang.
Salah satu kerusakan yang dilaporkan oleh pemerintah terkait kerusakan properti sejauh ini datang dari provinsi pesisir Fujian, yang menyebabkan kerugian ekonomi langsung sebesar 1,48 miliar yuan.
Keterlambatan dalam pemberian informasi disebabkan karena kota-kota yang terdampak masih melakukan pembersihan. Meskipun pemerintah China dikenal meremehkan kematian akibat bencana alam. Seperti yang terjadi pada tahun 2012, pemerintah awalnya melaporkan 37 kematian di Beijing karena banjir bandang. Tetapi, publik mempertanyakan jumlah tersebut dan menyebabkan protes akibat jumlah kematian yang tinggi. Dua pekan kemudian, para pejabat menaikkan jumlah kematian menjadi 79 orang.
Kali ini, sejumlah publik juga mengungkapkan kemarahan kepada pemerintah atas penanganan bencana banjir. Termasuk di antaranya tuduhan bahwa pihak berwenang sengaja mengarahkan air ke daerah Hebei untuk menjauh wilayah bandara Daxing, Beijing selatan dan Xiong'an, sebuah kota yang mulai dibangun Presiden Xi Jinping sebagai proyek "signifikansi milenial", sejak 2017.
Ni Yufeng, kepala Partai Komunis di Hebei, menjadi fokus dari ketidakpuasan di media sosial karena mengatakan kota-kota di provinsi itu harus "dengan tegas memainkan peran parit untuk ibu kota." Dia juga mengatakan wilayah Xiong'an mewakili "prioritas utama pengendalian banjir di provinsi kami." Badan sensor China kemudian memblokir diskusi kritis atas pernyataan Ni.
Seorang pejabat sumber daya air Hebei kemudian mengatakan hujan lebat dan banjir yang mengalir ke sungai-sungai dari Beijing adalah salah satu penyebab utama banjir di Zhuozhuo. Komentar itu tampaknya dimaksudkan untuk menangkis kritik bahwa beberapa area dikorbankan untuk melindungi proyek-proyek penting bagi Xi.
Xi tidak muncul di depan umum sejak 31 Juli, saat banjir mulai terjadi di China utara. Kepala stafnya, Cai Qi, pekan lalu menyapa para ahli di resor tepi laut Beidaihe, menyarankan para pemimpin berkumpul dalam retret musim panas tahunan mereka.
Pada Senin (7/8/2023) media pemerintah China menggembar-gemborkan tanggapan "kuat" Xi terhadap banjir. Laporan tentang perintahnya yang berupaya melakukan penyelamatan ditampilkan di halaman depan People's Daily, corong resmi Partai Komunis yang berkuasa.
Pemerintah juga mengatakan telah menyediakan dana untuk mendukung pekerjaan penyelamatan dan pengendalian banjir, termasuk tambahan 350 juta yuan yang diumumkan pada Minggu. Pejabat darurat mengatakan uang telah dikirim ke Beijing, Tianjin, Hebei, Heilongjiang, dan Jilin.
Dilaporkan China Central Television, Perdana Menteri Li Qiang memimpin pertemuan Dewan Negara pada Selasa (8/8/2023) yang mendesak pemerintah daerah untuk mempercepat pemulihan pasokan listrik dan air, juga membuka kembali jalan. Lembaga keuangan juga diminta untuk meningkatkan dukungan bagi bisnis di daerah-daerah yang terkena dampak, dan menyelesaikan klaim asuransi secepat mungkin.
(bbn)