Dampak Gugatan Freeport
Lebih lanjut, Rizal berpendapat jika Freeport benar-benar menggugat secara hukum lantaran keberatan terhadap tarif ekspor yang ditetapkan sepihak, tidak akan ada dampak yang terlalu fatal bagi kedua belah pihak.
Di satu sisi, Freeport hanya akan mengalami penurunan pendapatan, di sisi lain pemerintah bisa menambah pemasukan negara dari pajak ekspor.
“Kalau memang nanti Freeport menang, katakanlah, tentu saja pendapatan negara dari bea keluar ini akan hilang dan Freeport akan mendapatkan haknya kembali. Sebatas itu saja. Tidak akan mencederai kepercayaan pengusaha, karena pemerintah berhak menetapkan kebijakan,” tuturnya.
Di sisi lain, Rizal berpendapat wajar jika PTFI geram terhadap penaikan bea keluar konsentrat mineral lantaran tidak sesuai dengan kesepakatan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 164/2018.
Lagipula, lanjutnya, Freeport-McMorran Inc. adalah perusahaan terbuka yang tercatat di bursa efek Amerika Serikat (AS). Perusahaan tentu memiliki kepentingan untuk menjaga kinerja keuangan agar tetap baik saat dilaporkan ke Komisi Bursa Efek setempat.
“Mereka tahu bahwa peraturan Pemerintah Indonesia ini harus diikuti, dan memang harus diikuti. Publik bisa menilai bahwa tahun ini kemungkinan keuntungan Freeport akan berkurang. Itu harus diketahui publik. Semua kebijakan yang berpengaruh ke pendapatan itu harus dilaporkan supaya tidak menyesatkan publik atau investor,” ujarnya.
Berdasarkan laporan kuartalan terbaru Freeport-McMorran, perusahaan mengantongi laba bersih US$343 juta pada kuartal II-2023 dan US$1,0 miliar pada semester I-2023. Capaian itu turun drastis dibandingkan dengan US$840 juta pada kuartal II-2022 dan US$2,4 miliar untuk semester I-2022.
Menurut perusahaan, penurunan itu salah satunya dipicu volume penjualan tembaga yang lebih rendah akibat keterlambatan ekspor sehubungan dengan pembaruan izin ekspor konsentrat PTFI.
“Hasil enam bulan pertama 2023 juga mencerminkan volume penjualan tembaga dan emas yang lebih rendah akibat penangguhan pengakuan penjualan terkait dengan pengaturan tol PT Smelting,” papar perusahaan dalam dokumen yang dilansir melalui US Securities and Exchanges Commission (SEC) medio pekan lalu.
Pada 30 Juni 2023, Freeport memiliki utang konsolidasi sebesar US$9,5 miliar dan kas dan setara kas konsolidasi senilai US$6,7 miliar, menghasilkan utang bersih US$2,8 miliar (US$0,9 miliar tidak termasuk utang bersih untuk smelter Manyar dan kilang logam mulia atau PMR di Indonesia).
Dalam hal belanja modal, pengeluaran Freeport-McMorran ditargetkan mencapai US$4,8 miliar untuk 2023, yang mencakup US$2,0 miliar untuk proyek pertambangan besar dan US$1,6 miliar untuk proyek smelter di Indonesia.
Belanja modal Freeport mayoritas dialokasikan untuk proyek-proyek pertambangan besar; termasuk US$1,3 miliar untuk proyek-proyek yang direncanakan, terutama terkait dengan pengembangan tambang bawah tanah di distrik mineral Grasberg dan biaya modal pabrik pendukung dan listrik.
“Kami memantau dengan cermat kondisi pasar dan akan terus menyesuaikan rencana operasi kami, termasuk belanja modal, untuk melindungi likuiditas dan mempertahankan nilai aset kami, sebagaimana diperlukan. Adapun, belanja modal untuk proyek smelter di Indonesia didanai dengan dana dari senior notes PTFI dan tersedia di bawah fasilitas kredit bergulir,” jelas Freeport dalam laporannya.
Sebelumnya, perusahaan menyatakan keberatan dengan PMK No. 71/2023 tentang Perubahan PMK No. 39/2022 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
“PTFI terus mendiskusikan penerapan peraturan yang direvisi dengan pemerintah Indonesia dan akan menggugat, dan mencari pemulihan, penilaian apa pun,” tegas Freeport dalam dokumen tersebut.
(wdh)