Logo Bloomberg Technoz

Dalam surat yang ditulis pekan lalu, John Mauldin, seorang ahli strategi investasi dan presiden Millennium Wave Advisors dengan pengalaman pasar lebih dari tiga dekade menuturkan pemerintahan Biden membuat kesalahan dalam menjadikan dolar AS dan sistem pembayaran global sebagai senjata. 

Pembayaran Bilateral

Rencana pun sudah berlangsung di Rusia dan China untuk mempromosikan mata uang mereka untuk dijadikan sebagai pembayaran internasional, termasuk melalui penggunaan teknologi blockchain, yang dipercepat setelah terjadinya aksi geopolitik di Ukraina. Contoh, Rusia mulai menjual energi dalam mata uang rubel.

Dalam waktu dekat, negara-negara seperti Bangladesh, Kazakhstan, dan Laos juga mulai bernegosiasi dengan China untuk meningkatkan penggunaan yuan. India mulai berbicara lebih lantang tentang internasionalisasi rupee, dan baru-baru ini mereka mulai mengatur mekanisme pembayaran bilateral dengan Uni Emirat Arab.

Namun, kemajuannya terpantau tertahan. Akun mata uang yuan, misalnya, tidak mendapat dukungan serta daya tarik di Bangladesh karena defisit perdagangan negara tersebut dengan China.

"Bangladesh telah berusaha untuk mengejar pengurangan penggunaan dolar AS dalam sistem perdagangannya dengan China, akan tetapi alirannya hanya satu arah," tutur Salim Afzal Shawon, kepala penelitian di BRAC EPL Stock Brokerage Ltd di Dhaka.

Pendorong utama dari rencana tersebut adalah langkah AS dan Eropa untuk memutuskan hubungan dengan Rusia dari sistem keuangan global yang dikenal dengan nama SWIFT. Tindakan ini, yang dijuluki sebagai "senjata nuklir sektor keuangan" oleh Prancis, membuat sebagian besar bank-bank besar Rusia terasing dari jaringan yang memfasilitasi puluhan juta transaksi setiap hari, memaksa mereka untuk tergantung pada versi mereka sendiri yang jauh lebih kecil sebagai gantinya.

Itu memiliki dua implikasi. Pertama, sanksi AS terhadap Rusia memicu kekhawatiran bahwa dolar dapat menjadi alat politik yang jelas secara permanen - kekhawatiran yang sama-sama dirasakan oleh China, tetapi juga di luar Beijing dan Moskow. Sebagai contoh, di India sedang mengembangkan sistem pembayaran asli mereka sendiri yang sebagian meniru SWIFT.

Kedua, keputusan AS untuk menggunakan mata uang sebagai bagian dari bentuk ekonomi yang lebih agresif dari sisi seni perang ekonomi memberikan tekanan yang cukup kuat pada perekonomian di Asia. Tanpa sistem pembayaran alternatif, mereka berisiko dipaksa untuk mematuhi atau melaksanakan sanksi yang mungkin tidak mereka setujui - dan kehilangan perdagangan dengan mitra utama.

Kenaikan nilai mata uang AS yang semakin menjadi-jadi juga membuat para pengambil kebijakan di Asia lebih agresif dalam upaya diversifikasi.

Dolar AS telah menguat sekitar 7% di sepanjang 2022, merupakan kenaikan secara tahunan tertinggi sejak 2015. Indeks Dolar AS mencapai rekor tertinggi pada September saat apresiasi dolar membuat poundsterling Inggris hingga rupee ke level terendah sepanjang sejarah.

Membuat Pening

Kekuatan dolar AS membuat pening egara-negara Asia. Biaya impor pangan melonjak, beban pembayaran utang membengkak, dan kemiskinan meluas.

Sri Lanka adalah contohnya. Gagal bayar (default) utang dolar AS menghambat kemampuan negara untuk membayar. Para pejabat Vietnam pernah menyalahkan apresiasi dolar AS untuk kesulitan dalam pasokan bahan bakar dalam negerinya.

Sementara itu, penjualan obligasi berdenominasi dolar AS oleh perusahaan non-keuangan telah turun ke rekor terendah 37% dari total penerbitan pada 2022. 

Grafik Pergerakan Data Dolar (Dok Bloomberg)

Meskipun semua tindakan ini mungkin memiliki dampak pasar yang terbatas dalam jangka pendek, hasil akhirnya mungkin ialah terjadinya pelemahan permintaan untuk dolar AS. Kemajuan teknologi adalah faktor lain yang memfasilitasi upaya untuk menjauh dari ketergantungan tersebut.

Beberapa negara sedang mengurangi penggunaan dolar AS sebagai usaha untuk membangun jaringan pembayaran baru. Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Thailand telah menyiapkan sistem untuk transaksi antara satu sama lain dalam mata uang lokal. Masyarakat di Taiwan dapat membayar dengan sistem QR code yang terhubung dengan sistem finansial di Jepang.

Quotes SWIFT (Dok Bloomberg)

Meskipun semua agitasi dan berbagai tindakan yang sedang berlangsung, tidak mungkin posisi dominan dolar AS akan ditantang dalam waktu dekat. Kekuatan dan ukuran perekonomian AS masih tidak tertandingi dan masih sangat kuat.

"Pada akhirnya, investor masih lebih suka aset yang likuid dan dalam hal ini, tidak ada yang dapat menggantikan dolar," ujar George Boubouras, veteran pasar tiga dekade dan kepala riset K2 Asset Management di Melbourne. 

Pelajaran Berharga

Hasil akhirnya: 'raja' dolar AS mungkin masih terus berkuasa selama puluhan tahun ke depan. Namun momentum kebangkitan untuk transaksi dalam mata uang alternatif tidak menunjukkan tanda-tanda melambat.

Keinginan pemerintah AS untuk melibatkan mata uangnya dalam aksi konflik geopolitik mungkin akan melemahkan kemampuan dolar.

"Aksi geopolitik di Ukraina dan sanksi terhadap Rusia akan memberikan pelajaran yang sangat berharga," kata Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati pada bulan lalu di Forum CEO Bloomberg di sela-sela pertemuan G-20 di Bali.

"Banyak negara merasa mereka dapat melakukan transaksi secara langsung — secara bilateral — dan menggunakan mata uang lokal mereka, yang menurut saya baik bagi dunia untuk memiliki penggunaan mata uang dan sistem pembayaran yang jauh lebih seimbang," lanjutnya.

(fad/aji)

No more pages