Pada Februari 2023, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Senin (13/2/2023) menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan ajudannya yaitu Brigadir Yosua Nofriansyah Hutabarat yang tewas pada 8 Juli 2022. Yosua tewas di rumah dinas Ferdy sambo di kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati," kata Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso di PN Jakarta Selatan yang disambut dengan sorakan oleh pengunjung sidang.
Majelis hakim menilai terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan melanggar Pasal 340 KUHP. Hal yang memberatkan yaitu perbuatan dilakukan terhadap ajudan sendiri yang menyebabkan luka mendalam terhadap keluarga Yosua Hutabarat. Kemudian vonis mati tersebut dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta usai Sambo mengajukan banding.
"Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nomor 796/Pid.B/2022/PN Jakarta Selatan tertanggal 13 Februari 2023 yang dipintakan banding tersebut," kata majelis hakim di Jakarta, Rabu (12/4/2023).
Majelis hakim dipimpin oleh Singgih Budi Prakoso sebagai hakim ketua. Sementara hakim anggota terdiri dari Ewit Soetriadi, H Mulyanto, Abdul Fattah dan Tony Pribadi.
Namun setelah ke Mahakamah Agung untuk kasasi, hukuman Sambo menjadi seumur hidup.
Bambang Rukminto mengatakan, dibatalkannya hukuman mati Sambo seharusnya bisa dikawal oleh jaksa. Sejak berkas penyidikan dinyatakan jaksa sudah P21 atau lengkap memang sudah bukan ranah kepolisian lagi. Namun demikian kata dia, vonis ringan di tingkat kasasi memang makin menguatkan permisivitas polisi pada pelanggaran.
"Memang (putusan) ini tidak ada hubungannya dengan reformasi Kepolisian. Ada atau tidak ada putusan tersebut, reformasi Kepolisian juga tidak jalan kok. Soal reformasi kultural di kepolisian tetap juga permisif pada pelanggaran," ujar dia lagi.
Sementara anggota Kompolnas Poengky Indarti menilai, dari Kepolisian sebenarnya sudah ada ketegasan pimpinan Polri untuk memproses pidana dan etik terhadap Sambo.
"Ketegasan pimpinan Polri dalam memutuskan untuk memproses pidana dan etik yang bersangkutan dengan sanksi maksimal sudah membuat efek jera dan menunjukkan pimpinan Polri melaksanakan Reformasi Kultural Polri," kata Poengky lewat sambungan telepon pada Selasa malam (8/8/2023).
Dia menilai bahwa hukuman seumur hidup juga harus dipandang sebagai bentuk hukuman berat.
"Apalagi yang bersangkutan akan menghabiskan seumur hidupnya di penjara serta dipermalukan dan direndahkan secara sosial oleh publik seumur hidupnya," katanya lagi.
"Kalau soal keputusan hakim silakan menanyakan kepada Komisi Yudisial yang lebih berwenang," tutup Poengky.
(ezr)