Nilai tukar rupiah di pasar spot pada penutupan perdagangan Selasa (8/8/2023), ditutup melemah 33 bps ke posisi Rp15.218/US$. Itu adalah level terlemah rupiah setidaknya sejak akhir Maret lalu.
Sementara level penutupan kurs tengah Jakarta Interbank Dollar Spot Rate (JISDOR) Bank Indonesia, harga dolar AS tercatat lebih mahal di posisi Rp15.229/US$, terlemah dalam lima bulan terakhir.
Di pasar derivatif, kontrak nondeliverable forward 1 pekan ke depan untuk pairing USD/IDR ditutup di level lebih rendah ketimbang level penutupan di pasar spot. Pagi ini terpantau diperdagangkan di kisaran Rp15.219/US$. Sementara untuk kontrak 1 bulan, rupiah ada di kisaran Rp15.240/US$.
Pelemahan rupiah kemarin berbarengan dengan kejatuhan mayoritas valuta Asia yang terseret data perdagangan China. Kinerja ekspor China terpuruk untuk tiga bulan berturut-turut akibat pelemahan ekonomi global dibarengi dengan penurunan impor seiring lesunya permintaan domestik.
Akibatnya, yuan melemah dan menyeret valuta Asia ikut jatuh bersamanya. Indeks Bloomberg Dollar Spot tercatat naik 0,3% kemarin. Pagi ini, indeks dolar Amerika yang mengukur kekuatan the greenback di hadapan enam mata uang utama dunia terpantau melemah tipis setelah mencatat penguatan dua hari berturut-turut.
Sinyal dovish the Fed
Presiden Federal Reserve Philadelphia Patrick Harker menyatakan bank sentral mungkin dapat menghentikan kenaikan bunga acuan terkecuali ada kejutan dalam perekonomian, kendati level bunga tinggi saat ini perlu dipertahankan selama beberapa waktu ke depan.
Harker menyatakan bahwa "mungkin tahun depan, kami akan memulai penurunan bunga acuan". Sementara pejabat the Fed di Richmond Thomas Barkin berpendapat, terlalu dini untuk mengatakan apakah kenaikan bunga acuan pada September akan menjadi langkah yang tepat, seperti diwartakan oleh Bloomberg News.
Sebelumnya, Presiden Federal Reserve New York John Williams dalam wawancara dengan New York Times, menyatakan bahwa kenaikan bunga acuan 25 bps pada semester II-2023 sudah tidak dibutuhkan. Williams bahkan mulai mendorong pejabat the Fed untuk segera memulai siklus pemangkasan suku bunga, awal tahun depan.
Berbagai sinyal dovish yang terlontar dari beberapa pejabat the Fed itu menurut analis bisa memberi sinyal penguat bagi Bank Indonesia untuk memulai siklus pengguntingan BI7DRR.
Yield Surat Utang Negara tenor 10 tahun dan 2 tahun yang sensitif dengan arah kebijakan bank sentral, kemarin mulai sedikit melandai di tengah gelar lelang SUN yang berhasil menarik kenaikan tipis minat investor.
Sinyal dovish the Fed menurunkan ekspektasi pelaku pasar terhadap peluang kenaikan FFR pada September nanti. Probabilitas terkereknya FFR sebesar 25 bps bulan depan menurun tinggal 14%. Sementara peluang pada FOMC di November dan Desember juga menurun masing-masing di 28% dan 24,9%.
Menurut analis, animo asing ke pasar domestik masih tertahan karena tingkat imbal hasil SUN sulit turun. "Bila BI tidak turunkan bunga, investor asing tidak mau masuk terlebih dengan saat ini the Fed sudah mulai ubah posisi menjadi dovish. Yield obligasi susah turun karena bunga acuan tidak diturunkan," komentar Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas.
Yield SUN 10 tahun kemarin ditutup di level 6,343%, melemah tipis 0,26%, semakin mendekati bunga JIBOR 1 bulan yang bertengger di 6,4%.
(rui)