Bloomberg Technoz, Jakarta – PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) membantah kontraktor High Speed Railway Contractors Consortium (HSRCC) belum membayar 12 subkontraktor ihwal pekerjaan relokasi fasilitas sosial dan umum di jalur kereta cepat Jakarta—Bandung (KCJB).
GM Corporate Secretary KCIC Eva Chairunisa menyebut perusahaan telah berkomunikasi dengan HSRCC terkait dengan isu tersebut. Dia mengeklaim kelengkapan dokumen dan fisik pekerjaan pun sudah dibayar.
“Jadi memang di kontraktor dan KCIC pun sama. Untuk dapat melakukan pembayaran, ada dokumen yang harus dilengkapi dan bukti fisik pekerjaan untuk pengujian. Ini SOP standar seharusnya,” ujar Eva saat dimintai konfirmasi, Selasa (8/8/2023).
Secara prosedural, jelasnya, KCIC menjalin kontrak dengan kontraktor yang tergabung dalam konsorsium HSRCC. Selanjutnya, kontraktor dapat menunjuk subkontraktor berdasarkan spesialisasinya, sehingga terdapat perikatan pekerjaan antara kontraktor dengan subkontraktor. Dalam hal ini, KCIC tidak memiliki perikatan apapun dengan subkontraktor.
Selama ini, kata Eva, KCIC telah melakukan berbagai langkah percepatan pembayaran. Hal ini tecermin dari selisih progres konstruksi dan progres investasi yang tidak terpaut jauh.
Progres konstruksi menggambarkan nilai pembayaran oleh KCIC kepada kontraktor, sedangkan progres investasi adalah biaya yang sudah dikeluarkan oleh kontraktor. Perkembangan konstruksi proyek KCJB terhitung hingga akhir Juli 2023 telah mencapai 95,71%, sedangkan investasi sudah mencapai 99,9%.
Menurut keterangan HRSCC, pekerjaan relokasi fasos fasum yang dilaksanakan oleh subkontraktor PT Pusaka Jaya Perkasa telah dibayarkan 100% atau senilai Rp17,9 miliar untuk 5 pekerjaan. Sementara itu, 1 pekerjaan lainnya telah dibayarkan 64% atau senilai Rp2,05 miliar dan sisa pembayarannya menunggu kelengkapan dokumen dari kontraktor.

Sebelumnya, beredar surat dari Ikatan Subkontraktor dan Subkonsultan di media sosial mengenai adanya permasalahan pembayaran dari proyek relokasi fasos/fasum KCJB.
Surat yang ditandatangani oleh 12 perwakilan ikatan subkontraktor itu menggarisbawahi dampak yang sangat besar akibat kendala pembayaran. Selain melibatkan personal perusahaan secara langsung, kasus tersebut juga melibatkan vendor dan investor yang menekan subkontraktor.
“Sebagai ilustrasi, jika 1 kegiatan melibatkan 20 orang pekerja saja, bisa dibayangkan ada 88 kegiatan x 20 orang = 1.760 orang yang terdampak pekerjaan ini. Bukan jumlah yang sedikit,” tulis surat tersebut.
Beberapa permasalahan subkontraktor di antaranya penyitaan aset seperti rumah, kantor, kendaraan oleh pihak bank, investor, maupun vendor.
(wdh)