Kasus ini sendiri berawal dari sederet tweet Denny yang berisi informasi bocoran putusan MK terhadap uji materi UU Pemilu. Kata dia, MK akan mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup; atau masyarakat hanya mencoblos partai politik.
Bahkan, dalam cuitan tersebut, dia mengatakan, putusan akan diketok dalam komposisi 6 berbanding 3. Sebanyak 6 hakim konstitusi setuju proporsional tertutup, sedangkan tiga lainnya tetap mempertahankan proporsional terbuka. Denny mengeklaim informasi tersebut dari orang yang sangat kredibel atau terpercaya, meski bukan Hakim MK.
Cuitan tersebut langsung viral dan menjadi pembahasan di masyarakat, media massa, dan media sosial. Mantan bos Denny, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun turut merespon dengan mengunggah cuitan yang menilai seharusnya Indonesia bukan negara predator dengan hukum rimba sehingga yang kuat bisa selalu menang.
Delapan fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahkan membuat deklarasi khusus sebagai respon terhadap cuitan calon legislatif dari Partai Demokrat tersebut. Isinya, delapan fraksi tersebut menolak pemilu dengan sistem proporsional tertutup.
Belakangan, hakim MK justru mengeluarkan putusan menolak uji materi UU Pemilu sehingga sistem pada Pemilu 2024 tentang terbuka. Usai pembacaan putusan, MK juga mengumumkan sikap resmi yang menilai cuitan Denny telah mengusik lembaga penegak konstitusi tersebut dan menimbulkan kehebohan yang tak perlu di masyarakat.
Meski demikian, para hakim MK sepakat hanya melaporkan Denny kepada organisasi advokat dengan tuduhan pelanggaran kode etik.
Kepolisian ternyata memiliki posisi berbeda. Mereka tak terpengaruh dengan sikap MK yang enggan menempuh jalur hukum terhadap cuitan Denny. Polisi justru terus melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ini.
(prc/frg)