“Kan tolol. Harganya cuma separuhnya, tetapi yang dinikmati penambang nikel [di Indonesia] cuma US$20 per ton. Perintah cuma diam, yang benar ini negara China atau Indonesia? Kok semuanya China yang atur? [Komoditas] pertambangan tidak bisa dijual ke smelter, harus lewat trader, dan trader-nya dia [China] yang menentukan dan harus lewat surveyor, dan surveyornya dia yang menentukan,” tegas Faisal.
Dia melanjutkan survei kadar nikel pun harus dilakukan sebanyak dua kali di pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar. Jika didapati perbedaan atau selisih kadar magnesium di bawah 1,58%, pengusaha dikenai denda US$5 per ton.
“Belum lagi, mereka [investor nikel dari China] itu 20 tahun tidak bayar pajak, tetapi diberi tax holiday. Saya sudah bilang ke Luhut [Binsar Pandjaitan], apakah layak dapat tax holiday? Modalnya dari mereka 100%, untungnya lari ke China, lalu Indonesia dapat apa?”
Faisal menambahkan, dalam setahun, perusahaan tambang nikel asal China bisa mengeruk 1,6 juta ton. Dengan cadangan Indonesia yang mencapai sekitar 21 juta ton, pasok tersebut diprediksinya habis dalam 13 tahun.
“Skandal ini merugikan negara ratusan triliun rupiah. Hitung saja semuanya. Tenaga kerjanya tidak pakai visa, cuma secarik kertas yang dibilangnya tenaga ahli. Mulai dari tukang kebun hingga juru masak. Oleh karena itu, mereka tidak bayar visa US$100 per orang per bulan. Ini kerugiannya dahsyat,” tutur Faisal.
Kurangi Kemiskinan
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengeklaim investasi di Kawasan Industri Morowali berhasil menurunkan angka kemiskinan, kendati tidak memungkiri isu lingkungan pertambangan nikel masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang belum tuntas.
Luhut mengatakan penghiliran industri pertambangan nikel telah menurunkan kemiskinan di daerah-daerah yang menjadi lokasi pabrik pengolahan komoditas mineral logam bahan baku baja nirkarat dan baterai kendaraan listrik itu.
Hal itu, klaimnya, setidaknya terjadi di dua provinsi produsen nikel. Pertama, di Sulawesi Tengah yang tingkat kemiskinannya turun menjadi 15% pada 2022 dari 20% pada 2007. Kedua, di Maluku Utara yang tingkat kemiskinannya turun di bawah 10% pada 2022 dari 10% pada 2007.
"Ini penduduk miskin di lokasi penghiliran industri [nikel] kita terus menurun. Anda lihat, orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan juga menurun," ujarnya di acara Nickel Conference, Selasa (25/7/2023).
Episentrum industri nikel di Pulau Sulawesi, lanjut Luhut, juga terbukti berhasil mengerek nilai ekspor nonmigas Indonesia dari hanya US$2,1 miliar pada 2014 menjadi US$11,6 pada 2020, sebelum naik lagi menjadi US$22,21 miliar pada 2021, dan menyentuh US$33,8 miliar pada tahun lalu.
"Fakta-fakta ini makin menunjukkan kebenaran kebijakan pemerintah kita saat ini," jelas dia.
(wdh)