Dia pun menegaskan pemerintah siap menghadapi Freeport apabila kasus tersebut diboyong ke meja hijau. “Karena sudah masuk ranah hukum, sebaiknya nanti disampaikan di pengadilan,” ujarnya.
Kewajiban membayar bea keluar bagi pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) seperti Freeport juga termaktub di dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 7/2023 tentang Kelanjutan Pembangunan Fasilitas Pemurnian Logam di Dalam Negeri.
Pasal 3 Ayat 2 beleid tersebut mengatur ihwal penjualan hasil pengolahan ke luar negeri oleh pemegang IUP tahap kegiatan operasi produksi mineral logam atau pemegang IUPK tahap kegiatan operasi produksi mineral logam komoditas tembaga, besi, timbal, atau seng.
Dalam huruf c ayat tersebut, ditegaskan bahwa pemegang IUP dan IUPK harus “membayar bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Namun, VP Corporate Communications Freeport Indonesia Katri Krisnati mengatakan pada akhir 2018, Pemerintah Indonesia dan Freeport-McMoRan Inc. –selaku pemegang saham PTFI– mencapai kesepakatan bersama yang dituangkan dalam IUPK.
IUPK tersebut, lanjutnya, merupakan hasil dari perundingan panjang terkait dengan divestasi dan kebijakan-kebijakan bagi kegiatan operasi produksi PTFI guna menciptakan manfaat optimal bagi seluruh pemangku kepentingannya
“Salah satu ketentuan yang diatur dalam IUPK tersebut adalah mengenai tarif bea keluar yang berlaku bagi PTFI selama jangka waktu IUPK [atau hingga 2041],” jelasnya kepada Bloomberg Technoz, Selasa (8/8/2023).
Dalam proses penerapan bea keluar, lanjutnya, dikenal mekanisme pengajuan keberatan dan banding terhadap penghitungan penetapan pajak ekspor, yang merupakan wadah dalam rangka mewujudkan kebijakan kepabeanan yang objektif dan akurat.
Dengan demikian, dia berpendapat merupakan wajar bagi setiap pelaku usaha untuk menempuh mekanisme keberatan dan banding tersebut apabila ada perbedaan pandangan antara otoritas kepabeanan dengan pelaku usaha yang bersangkutan dalam penerapan peraturan kepabeanan.
“Sehubungan dengan konteks di atas, kami memahami adanya kemungkinan pengajuan keberatan dan banding. Namun, kami tetap berharap pemerintah senantiasa menerapkan ketentuan bea keluar bagi PTFI sesuai dengan IUPK yang sudah disetujui bersama,” ujarnya.
Sebelumnya, Freeport-McMorran Inc. geram dan bahkan berencana menggugat PMK No. 71/2023. Hal itu terungkap dalam Laporan Kuartal Berdasarkan Bagian 13 atau 15 (d) Undang-Undang Bursa Efek AS Tahun 1934 yang dilayangkan perusahaan ke US Securities and Exchanges Commission (SEC) pada Kamis (3/8/2023) waktu setempat.
Berdasarkan IUPK PTFI, Freeport Mc-Morran mengeklaim bahwa bea keluar konsentrat yang berlaku seharusnya mengacu pada peraturan yang berlaku pada 2018, yang menyatakan bahwa tidak ada bea yang diperlukan setelah progres pembangunan smelter mencapai 50%.
Per Maret 2023, Pemerintah Indonesia memastikan progres konstruksi smelter Manyar sudah melebihi 50% dan bea keluar PTFI dihapus efektif 29 Maret 2023.
Namun, pada Juli 2023, Kementerian Keuangan mengeluarkan revisi aturan bea masuk berbagai produk ekspor, termasuk konsentrat tembaga.
Revisi regulasi menetapkan bea keluar untuk konsentrat tembaga sebesar 7,5% pada semester II-2023 dan 10% pada 2024 untuk perusahaan dengan progres smelter 70% hingga 90%. Bagi perusahaan dengan progres smelter di atas 90%, bea keluar akan menjadi 5% pada semester II-2023 dan 7,5% pada 2024.
Atas dasar itu, Freeport-McMorran menyatakan PTFI akan menggugat Indonesia atas penerapan aturan yang dinilai tidak sesuai dengan kesepakatan IUPK tersebut.
“[Untuk itu] PTFI terus mendiskusikan penerapan peraturan yang direvisi dengan pemerintah Indonesia dan akan menggugat, dan mencari pemulihan, penilaian apa pun,” tegas Freeport dalam dokumen tersebut, dikutip Bloomberg Technoz, Selasa (8/8/2023).
Sekadar catatan, pada 24 Juli 2023, ungkap dokumen tersebut, PTFI akhirnya diberikan izin ekspor konsentrat tembaga hingga Mei 2024 dengan alokasi sebanyak 1,7 juta metrik ton atau hingga proyek smelter di Manyar, Gresik beroperasi secara penuh.
(wdh)