IEK dibagi lagi menjadi 3 indikator, yakni Indeks Penghasilan Saat Ini, Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja, dan Indeks Pembelian Barang Tahan Lama (Durable Goods). Dua yang disebut pertama turun masing-masing 5,4 poin dan 4,6 poin. Sementara yang ketiga naik tipis 0,8 poin.
“Optimisme responden terhadap penghasilan saat ini dibandingkan 6 bulan yang lalu menurun dibandingkan bulan sebelumnya, terutama pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp 1-2 juta,” ungkap laporan BI.
Sementara untuk Ketersediaan Lapangan Kerja, indeks tercatat turun pada hampir seluruh kategori pendidikan, terdalam pada kelompok responden dengan tingkat pendidikan sarjana. Menurut usia, ketersediaan lapangan pekerjaan saat ini tercatat optimis pada seluruh kelompok usia responden.
Lalu untuk IEK, juga dibagi menjadi 3 indikator yaitu Indeks Ekspektasi Penghasilan, Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja, dan Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha. Ketiganya turun masing-masing 1,7 poin, 5,8 poin, dan 5,1 poin.
Tanda Tanya di Perekonomian Indonesia
Dari laporan BI hari ini, terlihat bahwa masyarakat Indonesia melihat situasi saat ini dengan sedikit tanda tanya. Apakah ada jaminan pendapatan tidak turun atau bahkan hilang? Apakah ada jaminan mencari kerja tidaklah susah?
Merespons situasi yang tidak pasti tersebut, konsumen merespons dengan berhati-hati dalam membelanjakan uang. Akibatnya, porsi pendapatan untuk konsumsi (propensity to consume) pada Juli turun menjadi 75,5% dari bulan sebelumnya 75,7%.
Dengan kondisi yang samar-samar, wajar jika masyarakat memilih untuk menambah tabungan, sebagai langkah antisipasi kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Porsi pendapatan yang ditabung (saving to income ratio) pada Juli 2023 naik menjadi 15,4% berbanding 15,3% pada bulan sebelumnya.
“Berdasarkan kelompok pengeluaran, rata-rata porsi konsumsi terhadap pendapatan terpantau menurun pada hampir seluruh kategori pengeluaran, kecuali pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp 1-2 juta. Sementara itu, porsi tabungan terhadap pendapatan pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp 2,1-3 juta dan Rp 4,1-5 juta per bulan terindikasi meningkat,” sambung laporan BI.
Sikap konsumen yang seperti ini merupakan cerminan dari kondisi ekonomi secara umum. Setelah tumbuh impresif 5,17% pada kuartal II-2023, ekonomi Indonesia dihantui ketidakpastian pada paruh kedua.
Konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2023 tumbuh lebih dari 5%, karena dorongan momentum Ramadan-Idul Fitri plus Idul Adha. Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, mudik memberikan kontribusi 1,5 poin persentase terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pada semester II-2023, praktis tidak ada lagi momentum yang membuat masyarakat menggeber konsumsi. Lebaran sudah lewat, libur sekolah pun sudah lalu.
Kemudian, ekspor sepertinya makin tidak bisa diandalkan dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal II-2023, ekspor mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) untuk kali pertama sejak 2020.
Ke depan, prospek ekspor masih suram. Dari sisi harga, komoditas unggulan ekspor Indonesia kini bisa ditebus dengan harga yang lebih murah.
Deputi Kepala BPS Bidang Neraca dan Analisis Statistik Moh Edy Mahmud mencontohkan ekspor komoditas yang mengalami penurunan drastis akibat koreksi harga komoditas global. Misalnya minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
"CPO ini turunnya drastis sekali price-nya, sampai 43%. Ini akan mempengaruhi provinsi-provinsi yang memproduksi CPO," katanya.
Secara umum, demikian Edy, komoditas yang paling banyak memberi pengaruh adalah pertambangan. Kontraksinya 0,17%, tetapi perannya sampai 70%
Perlu dicatat, saat perusahaan berorientasi ekspor terdampak pelemahan ekonomi global sehingga arus kas seret atau bahkan merugi, maka pengusaha diizinkan memotong upah pekerja sampai 25%. Jadi jangan heran kalau masyarakat mulai ragu soal penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja, baik saat ini maupun pada masa mendatang.
(aji)