Logo Bloomberg Technoz

"Penyurutan air di cekungan Sungai Helmand adalah akibat dari perubahan iklim. Negara mulai memanas dan mencatatkan curah hujan yang sangat tinggi diikuti dengan musim kemarau yang parah," kata Graeme Smith, konsultan senior di Afghanistan di International Crisis Group, sebuah organisasi nirlaba. "Suhu di negara ini naik 1,8 derajat celcius sejak 1950."

Iran menandatangani perjanjian pada 1973 dengan Afghanistan yang mengatur negara yang dikuasai Taliban itu memasok air dari Helmand dalam jumlah yang tertentu ketika kondisi iklim "normal". 

Helmand merupakan sebuah jalur air sepanjang 1.000 kilometer yang membentang dari pegunungan Hindu Kush Afghanistan hingga ke Iran.

Air dari sungai terpanjang di Afghanistan itu sangat penting untuk sektor pertanian dan juga dikonsumsi oleh jutaan orang di kedua sisi perbatasan.

Kini, Iran berargumen bahwa Taliban mengurangi pasokan air sejak kembali berkuasa dan tidak memenuhi kewajiban Afghanistan yang diatur dalam perjanjian itu.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanaani mengatakan dalam jumpa pers pekan lalu bahwa "perjanjian awal sudah ada" dengan pemerintahan Taliban terkait hak Iran atas air dari Helmand. Akan tetapi dia tidak memberikan rincian lebih lanjut.

"Perhatikan kata-kata saya dengan serius," kata Raisi, yang sudah menjabat sebagai Presiden Iran sejak 2021, saat berkunjung ke Sistan dan Baluchestan, provinsi termiskin di Iran yang kini dilanda kekurangan air.

"Saya memperingatkan para pejabat dan penguasa Afghanistan bahwa mereka harus menghormati hak air rakyat Sistan."

Juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid dan Bilal Karimi, tidak menanggapi panggilan dan pesan yang meminta komentar.

Pada Mei, Mujahid mengatakan komentar Raisi tersebut tidak pantas dan dapat merusak hubungan. Menteri Luar Negeri Amir Khan Muttaqi berpendapat masalah air  ini terjadi hanya karena  kekeringan dan Afghanistan masih menghormati kesepakatan tersebut.

Pakta itu sendiri menyisakan ruang untuk beda pandangan. Pasokan air harus "disesuaikan" pada saat kekeringan, katanya. Dan kedua negara harus terlibat dalam "perundingan diplomatik" untuk menyelesaikan masalah apa pun.

Namun terlepas dari seruan menyelesaikan masalah ini lewat jalur diplomatik, Taliban bersiap untuk berperang. Sumber yang tak ingin disebutkan namanya mengatakan selain tentara dan pelaku bom bunuh diri, pengerahan militer juga mencakup ratusan kendaraan militer dan senjata yang ditinggalkan oleh AS.

Lokasi konflik di perbatasan Iran dan Afghanistan. (Sumber: Bloomberg)

"Kedua belah pihak dapat mengajukan alasan untuk melakukan pembenaran atas posisi mereka," kata Omar Samad dari  wadah pemikir Dewan Atlantik yang berbasis di Washington dan mantan utusan Afghanistan untuk Kanada dan Prancis. 

Dia merujuk pada "krisis yang berlarut-larut" di Afghanistan dan kebutuhan air Iran saat kekeringan melanda.

Jika tidak ada yang ingin menyelesaikan masalah melalui saluran diplomatik, Samad mengatakan hal ini akan menjadi "tidak rasional secara politik dan mengarah pada destabilisasi regional ketika tidak ada pihak yang sebenarnya  mampu untuk terlibat dalam konflik."

Perjanjian air ini menjadi sumber ketegangan selama beberapa dekade belakangan. Iran sudah lama mengaku tidak menerima cukup air. Situasi semakin diperburuk dengan pengambilalihan  kekuasaan oleh Taliban yang terjadi saat kekeringan selama bertahun-tahun.

Dan meskipun sulit untuk menganalisis klaim kedua pihak karena tidak ada data terkait suplai air, Fatemeh Aman, seorang rekan senior  di wadah pemikir Institut Timur Tengah yang berbasis di Washington, mengatakan bahwa Iran hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri.

"Otoritas Iran punya waktu lebih dari 40 tahun untuk berinvestasi dalam pengelolaan air atau mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana," katanya. "Mereka sudah gagal."

Anggota parlemen Iran mengatakan pada Juni bahwa situasi di Sistan dan Baluchestan sangat mengerikan.

Media lokal melaporkan bahwa "bencana kemanusiaan" bisa terjadi jika warga tidak mendapatkan air. Lebih dari 10 ribu keluarga telah meninggalkan ibu kota privinsi itu tahun lalu.

Setidaknya  300 kota besar dan kecil di Iran menghadapi kekurangan air karena gelombang panas ekstrem. Bendungan menguap, dan lebih dari 97% wilayah negara ini mengalami kekeringan. Seorang akademisi mengatakan, kondisi ini membuat 20 juta orang pindah ke kota karena tanah mereka terlalu kering untuk pertanian.

Sekitar tiga juta warga Afghanistan yang melarikan diri ke Iran untuk menghindari perang selama puluhan tahun di negaranya juga terkena dampak.

"Kami menempuh perjalanan berjam-jam untuk mencapai desa lain dan mendapatkan 30 liter air minum," kata Sardar Ali (45 tahun) yang kembali ke Afghanistan tahun ini bersama keluarganya dari Sistan dan Baluchestan. "Panas dan kekurangan air juga menewaskan ternak dan memaksa banyak orang mengungsi."

Suhu global tercatat mencapai rekor tertinggi pada Juli, dengan negara-negara seperti Italia hingga China mengalami panas terik karena pola cuaca El Nino.

Sementara Afghanistan sendiri tidak asing lagi dalam menghadapi kondisi ini.

Mereka telah mengalami kesulitan akibat kekeringan. Menurut data dari Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, pada 2022 rumah tangga yang terdampak jumlahnya enam kali lebih banyak  dibandingkan dua tahun sebelumnya. Sekitar 64% warga Afghanistan terkena dampak kekeringan pada 2022, sementara 30 dari 34 provinsi memiliki kualitas air yang sangat rendah.

Menurut PBB, tren ini diperkirakan akan terus berlanjut selama beberapa dekade mendatang karena perubahan iklim kemungkinan besar akan berdampak lebih parah.

Di sisi lain, konflik air ini terjadi ketika Afghanistan menghadapi keadaan darurat lain.

Organisasi Ketenagakerjaan Internasional mengatakan ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan sejak Taliban kembali berkuasa dua tahun lalu, dengan perempuan yang paling terdampak. Ditambah lagi dengan sanksi yang melumpuhkan perekonomian, dan komunitas internasional yang tak mengakui pemerintahan Taliban, yang memutus Afghanistan dari sistem keuangan global.

Selain itu, krisis kelaparan juga memburuk. PBB mengatakan Afghanistan membutuhkan dana US$4,6 miliar tahun ini untuk mendukung lebih dari 20 juta orang yang menghadapi kelaparan akut.

Akan tetapi, kondisi-kondisi itu tidak membuat Taliban berhenti bertindak agresif terkait masalah air.

Hanya dua hari setelah peringatan Raisi, Wakil Perdana Menteri Urusan Ekonomi Mullah Abdul Ghani Baradar memerintahkan pengerjaan proyek  Bendungan Bakhshabad yang kontroversial di Helmand dimulai kembali. Ini adalah proyek yang tertunda bertahun-tahun karena konflik dan upaya Iran untuk menghentikannya.

Lebih dari dua bulan kemudian tidak ada kemajuan yang dicapai dalam menyelesaikan masalah dengan Iran.

"Kami belum melihat langkah untuk memenuhi komitmen dan mengamankan hak air Iran," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Kanaani pada jumpa pers 10 Juli lalu. "Pembicaraan sedang berlangsung dengan pemerintah sementara Afghanistan dan kami akan terus membicarakan masalah ini dengan serius."

Taliban juga berkonflik dengan negara tetangga lain. Mereka membangun saluran irigasi besar di wilayah utara untuk mengalihkan air dari cekungan Amu Darya yang memasok air ke Uzbekistan dan negara-negara Asia Tengah lain. Uzbekistan telah mengungkapkan kekhawatiran tetapi juga berjanji untuk tidak menghalangi proyek tersebut.

Aman dari Institut Timur Tengah mengatakan air lintas batas seharusnya tidak boleh dipolitisasi. Tapi dia juga realistis. Aman mengatakan wilayah ini harus bersiap untuk perselisihan lebih lanjut yang disebabkan oleh perubahan iklim.

"Kedua pihak harus duduk dan menuntaskan pemahaman lebih baik terkait perjanjiar air tahun 1973 tersebut," kata Smith dari International Crisis Group urusan Iran dan Afghanistan. 

Kedua negara "memiliki pemerintahan yang terisolasi, tetapi negara paria pun membutuhkan bantuan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Bertahan hidup di planet yang semakin panas akan membutuhkan kerja sama dengan semua pihak, bahkan dengan Taliban."

--Dengan asistensi dari Arsalan Shahla dan Zulfugar Agayev.

(bbn)

No more pages