Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Para pemodal asing masih mencatatkan posisi beli bersih di pasar keuangan domestik sepanjang 2023. Akan tetapi, aliran modal asing yang menyerbu pasar surat utang negara maupun pasar saham itu acapkali tidak cukup kuat mendongkrak penguatan nilai tukar rupiah.

Bank Indonesia mencatat, sepanjang 2023 hingga data setelmen 3 Agustus lalu, pemodal nonresiden mencetak posisi beli bersih sebesar Rp93,62 triliun di pasar surat berharga negara serta net buy di pasar saham Rp16,86 triliun. Adapun selama pekan pertama Agustus, pemodal asing mencetak beli bersih baik SBN maupun saham senilai total Rp5,33 triliun.

Masih cukup tingginya animo asing ke aset-aset portofolio domestik pada kenyataannya tidak lagi berkorelasi positif dengan penguatan nilai tukar rupiah. Selama pekan lalu, rupiah tertekan sentimen eksternal dengan mencatat pelemahan point-to-point 0,6%, di mana nilai tukar terhadap dolar AS bahkan sempat terperosok ke level lemah di atas Rp15.200 pekan lalu di pasar spot. 

Sementara kurs tengah Bank Indonesia, Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) mencatat pelemahan tipis nilai rupiah 0,5% point-to-point selama periode 31 Juli hingga 4 Agustus lalu dan harga dolar AS ditutup di level Rp15.168/US$.

Data Bloomberg yang melacak pergerakan dana asing dan korelasinya dengan nilai rupiah selama Juni-Juli memperlihatkan, aliran modal asing ke pasar Indonesia tidak lagi mempengaruhi penguatan rupiah. Korelasi dalam 20 hari antara nilai aliran modal asing yang masuk ke pasar SBN dengan nilai rupiah tercatat hampir nol sejak Juni lalu. Korelasi negatif akan berarti aliran modal asing ke pasar domestik tidak akan memberi pengaruh apa-apa pada penguatan nilai rupiah. 

Selama Juni-Juli, pemodal asing memborong SBN senilai US$1,7 miliar, sekitar Rp25,78 triliun, angka itu adalah nilai arus modal asing terbesar sejak periode Januari-Februari. Namun, besarnya aliran modal asing ke pasar SBN nyatanya tidak mempengaruhi otot rupiah. Pada periode Juni-Juli, rupiah menjadi valuta Asia yang paling buruk kinerjanya.

Memasuki Agustus ini, pola yang sama masih berulang di mana capital inflows tidak mempengaruhi nilai rupiah untuk menguat. Ada dugaan besar, aliran modal asing ke pasar SBN sudah memiliki hedging nilai tukar sehingga dampak capital inflow ke rupiah sudah tidak bersisa.

Pada perdagangan hari pertama pekan kedua Agustus, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah ke Rp15.173/US$, pukul 10:54 WIB, Senin (7/8/2023) jelang pengumuman data pertumbuhan ekonomi RI kuartal II-2023 oleh Badan Pusat Statistik.

Aliran modal asing ke Indonesia tidak bisa membantu penguatan rupiah (Bloomberg)

Minat eksportir belum hangat

Upaya pemerintah Indonesia memperbanyak suplai valas di dalam negeri supaya nilai rupiah bisa memoderasi tekanan eksternal melalui aturan wajib repatriasi devisa hasil ekspor, sejauh ini juga belum mendapat sambutan hangat dari para eksportir.

Dalam gelar perdana lelang TD Valas DHE pasca diberlakukannya kebijakan repatriasi ekspor oleh pemerintah, respon eksportir cenderung dingin dengan nilai penawaran masuk cuma US$6 juta, sekitar Rp91,18 miliar.

Meski ada sedikit harapan angkanya akan terus meningkat tecermin dari peningkatan nilai penawaran masuk di lelang berikutnya pada Kamis (3/8/2023), yang menarik sekitar US$38,75 juta, kesemuanya menyerbu tenor 3 bulan yang memberi bunga mulai 5,44%-5,54%.

Walau mulai meningkat, nilai penawaran masuk dalam lelang itu terbilang kecil dibandingkan gelar lelang-lelang sebelumnya yang bahkan bisa mencatat nilai penawaran di atas US$50 juta bahkan di atas US$100 juta. 

Kemungkinan besar, masih minimnya minat dalam lelang TD Valas DHE bahkan ketika aturan wajib repatriasi resmi berlaku itu, adalah dampak dari tren penurunan nilai ekspor. Pesta harga komoditas yang dinikmati Indonesia telah berakhir sehingga ekspor menapak ke lajur normalisasi.

Ketika nilai ekspor terus melandai, nilai dolar AS yang direpatriasi sulit diharapkan bisa ditarik dalam nilai tinggi walaupun tawaran bunga dari BI cukup menarik ditambah insentif pajak dari pemerintah.

Sebelum penerapan resmi regulasi repatriasi devisa ekspor mulai 1 Agustus ini, sejak Maret lalu Bank Indonesia telah lebih dulu menggelar operasi moneter melalui lelang term deposit devisa hasil ekspor.

Sampai Juli lalu, nilai kumulatif devisa hasil ekspor yang berhasil ditarik melalui lelang tersebut mencapai US$1,3 miliar atau sekitar Rp19,5 triliun, menurut keterangan Bank Indonesia.

Berdasarkan data yang dikompilasi oleh Bloomberg Technoz, pada bulan pertama gelar lelang TD Valas DHE, BI berhasil menarik US$294,8 juta, lalu memuncak hingga US$343 juta di bulan April, kemudian menurun pada Mei. Dua bulan terakhir, Juni-Juli, lelang berhasil menarik antara US$234 juta hingga US$292 juta, sekitar Rp4,43 triliun. 

Potensi Rp900-an triliun

Pemerintah sempat berhitung, dengan nilai ekspor selama 2022 dari empat sektor utama mencapai US$203 miliar, bila diasumsikan 30% ditempatkan di dalam negeri sesuai aturan repatriasi devisa ekspor, setidaknya akan ada potensi tambahan likuiditas valas senilai US$60 miliar, sekitar Rp911 triliun, ke sistem perbankan domestik. 

Masalahnya, pesta itu kini berangsur usai. Sepanjang tahun ini mungkin sulit bagi Indonesia membukukan nilai ekspor dengan angka sama ketika puncak harga komoditas sukses menggelembungkan tabungan dolar para eksportir di Tanah Air.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor RI pernah mencatat di rekor tertinggi US$27,9 miliar pada Agustus 2022. Namun, capaian ekspor perlahan melambat dengan posisi Juni senilai US$20,61 miliar, menurun hingga 21,2% dibanding setahun sebelumnya.

Tren itu tidak terlepas dari normalisasi harga komoditas-komoditas ekspor utama RI di pasar dunia, seperti batu bara, minyak sawit mentah hingga nikel dan komoditas tambang lain. Harga batu bara misalnya, anjlok 47% sepanjang enam bulan pertama tahun ini, melanjutkan koreksi harga yang sudah berlangsung sejak semester II-2022.

Dengan tren nilai ekspor yang terus menurun, wajar bila muncul anggapan bahwa kebijakan repatriasi devisa ekspor itu terlambat, meski dalam jangka panjang kebijakan tersebut tetap penting dan berdampak dalam mendukung daya tahan nilai tukar rupiah ke depan. 

(rui)

No more pages