Selama Juni-Juli, pemodal asing memborong SBN senilai US$1,7 miliar, sekitar Rp25,78 triliun, angka itu adalah nilai arus modal asing terbesar sejak periode Januari-Februari. Namun, besarnya aliran modal asing ke pasar SBN nyatanya tidak mempengaruhi otot rupiah. Pada periode Juni-Juli, rupiah menjadi valuta Asia yang paling buruk kinerjanya.
Memasuki Agustus ini, pola yang sama masih berulang di mana capital inflows tidak mempengaruhi nilai rupiah untuk menguat. Ada dugaan besar, aliran modal asing ke pasar SBN sudah memiliki hedging nilai tukar sehingga dampak capital inflow ke rupiah sudah tidak bersisa.
Pada perdagangan hari pertama pekan kedua Agustus, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah ke Rp15.173/US$, pukul 10:54 WIB, Senin (7/8/2023) jelang pengumuman data pertumbuhan ekonomi RI kuartal II-2023 oleh Badan Pusat Statistik.
Minat eksportir belum hangat
Upaya pemerintah Indonesia memperbanyak suplai valas di dalam negeri supaya nilai rupiah bisa memoderasi tekanan eksternal melalui aturan wajib repatriasi devisa hasil ekspor, sejauh ini juga belum mendapat sambutan hangat dari para eksportir.
Dalam gelar perdana lelang TD Valas DHE pasca diberlakukannya kebijakan repatriasi ekspor oleh pemerintah, respon eksportir cenderung dingin dengan nilai penawaran masuk cuma US$6 juta, sekitar Rp91,18 miliar.
Meski ada sedikit harapan angkanya akan terus meningkat tecermin dari peningkatan nilai penawaran masuk di lelang berikutnya pada Kamis (3/8/2023), yang menarik sekitar US$38,75 juta, kesemuanya menyerbu tenor 3 bulan yang memberi bunga mulai 5,44%-5,54%.
Walau mulai meningkat, nilai penawaran masuk dalam lelang itu terbilang kecil dibandingkan gelar lelang-lelang sebelumnya yang bahkan bisa mencatat nilai penawaran di atas US$50 juta bahkan di atas US$100 juta.
Kemungkinan besar, masih minimnya minat dalam lelang TD Valas DHE bahkan ketika aturan wajib repatriasi resmi berlaku itu, adalah dampak dari tren penurunan nilai ekspor. Pesta harga komoditas yang dinikmati Indonesia telah berakhir sehingga ekspor menapak ke lajur normalisasi.
Ketika nilai ekspor terus melandai, nilai dolar AS yang direpatriasi sulit diharapkan bisa ditarik dalam nilai tinggi walaupun tawaran bunga dari BI cukup menarik ditambah insentif pajak dari pemerintah.
Sebelum penerapan resmi regulasi repatriasi devisa ekspor mulai 1 Agustus ini, sejak Maret lalu Bank Indonesia telah lebih dulu menggelar operasi moneter melalui lelang term deposit devisa hasil ekspor.
Sampai Juli lalu, nilai kumulatif devisa hasil ekspor yang berhasil ditarik melalui lelang tersebut mencapai US$1,3 miliar atau sekitar Rp19,5 triliun, menurut keterangan Bank Indonesia.
Berdasarkan data yang dikompilasi oleh Bloomberg Technoz, pada bulan pertama gelar lelang TD Valas DHE, BI berhasil menarik US$294,8 juta, lalu memuncak hingga US$343 juta di bulan April, kemudian menurun pada Mei. Dua bulan terakhir, Juni-Juli, lelang berhasil menarik antara US$234 juta hingga US$292 juta, sekitar Rp4,43 triliun.
Potensi Rp900-an triliun
Pemerintah sempat berhitung, dengan nilai ekspor selama 2022 dari empat sektor utama mencapai US$203 miliar, bila diasumsikan 30% ditempatkan di dalam negeri sesuai aturan repatriasi devisa ekspor, setidaknya akan ada potensi tambahan likuiditas valas senilai US$60 miliar, sekitar Rp911 triliun, ke sistem perbankan domestik.
Masalahnya, pesta itu kini berangsur usai. Sepanjang tahun ini mungkin sulit bagi Indonesia membukukan nilai ekspor dengan angka sama ketika puncak harga komoditas sukses menggelembungkan tabungan dolar para eksportir di Tanah Air.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor RI pernah mencatat di rekor tertinggi US$27,9 miliar pada Agustus 2022. Namun, capaian ekspor perlahan melambat dengan posisi Juni senilai US$20,61 miliar, menurun hingga 21,2% dibanding setahun sebelumnya.
Tren itu tidak terlepas dari normalisasi harga komoditas-komoditas ekspor utama RI di pasar dunia, seperti batu bara, minyak sawit mentah hingga nikel dan komoditas tambang lain. Harga batu bara misalnya, anjlok 47% sepanjang enam bulan pertama tahun ini, melanjutkan koreksi harga yang sudah berlangsung sejak semester II-2022.
Dengan tren nilai ekspor yang terus menurun, wajar bila muncul anggapan bahwa kebijakan repatriasi devisa ekspor itu terlambat, meski dalam jangka panjang kebijakan tersebut tetap penting dan berdampak dalam mendukung daya tahan nilai tukar rupiah ke depan.
(rui)