Desain alinyemen tersebut juga dilakukan oleh konsultan yang kompeten di bidangnya dan sudah disetujui Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan. Selain itu, menurut Arvilla, disepakati juga kriteria desain yang mencakup segala hal yang terkait dengan kebutuhan desain jembatan untuk LRT.
“Kami mendapat spesifikasi detail terkait dengan kereta yang akan melewati jembatan. Berat, kecepatan, konfigurasi, dan lain-lainnya,” ujarnya.
Dia menjelaskan sejak awal jembatan lengkung Kuningan tersebut memang tidak bisa didesain dengan badan yang lebih lebar lantaran sangat berkaitan dengan pembebasan lahan dan mengenai bangunan atau gedung eksisting di sekitarnya.
“Jika dibangun dengan radius lebih besar, akan banyak bangunan eksisting yang kena. Ada pembebasan lahan yang mengenai lebih banyak bangunan eksisting. Untuk itulah konsep desain alinyemen sebisa mungkin berada di lokasi yang ‘bebas’. Dengan demikian, di beberapa titik memerlukan alinyemen melengkung dengan radius kecil seperti Longspan LRT Kuningan,” tegasnya.
Desain yang diusulkan, sambungnya, harus bisa mengakomodasi keterbatasan lahan untuk penempatan kolom penyangga jembatan atau pier, baik posisi maupun dimensinya.
Begitu juga metode pelaksanaan jembatan yang harus dapat mengakomodasi persyaratan tidak boleh menggangu lalu lintas di jalan yang berada di bawahnya, yaitu Jalan Gatot Soebroto dan Jalan Tol Dalam Kota.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebelumnya tidak menampik adanya kesalahan desain pembangunan jembatan melengkung atau longspan Kuningan di jalur kereta LRT Jabodebek. Dia menilai hal tersebut wajar karena Indonesia baru pertama kali membangun transportasi massal jenis kereta ringan.
Isu ini mencuat usai Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo membeberkan sejumlah masalah dalam proyek LRT Jabodebek, salah satunya Longspan Kuningan. Menurut dia, PT Adhi Karya (Persero) Tbk. tak mengukur sudut kemiringan kereta LRT yang akan melintas.
Hal ini tecermin dari terlalu sempitnya jalur di Longspan Kuningan, sehingga kereta LRT tidak bisa melakukan manuver berbelok dengan kecepatan normal. Walhasil kata Tiko, kereta LRT harus menurunkan kecepatan hingga 20 Km/jam.
"Kalau tikungannya lebih lebar, bisa belok sambil speed up," kata dia.
(wdh)