Belum lama ini, Arifin melempar wacana bahwa pemerintah tengah mengkaji kemungkinan untuk melarang ekspor sumber daya mineral, seperti pasir silika, yang dapat digunakan sebagai bahan baku panel surya.
Rencana tersebut selaras dengan target Indonesia untuk meningkatkan bauran energi surya sebesar 4,3 GW dalam sumber daya kelistrikan nasional pada 2023, sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021—2030.
Arifin mengatakan, pada 2030, pemerintah juga menargetkan produksi listrik sebesar 20,9 GW dari bauran energi terbarukan (EBT) seperti tenaga surya, panas bumi, dan hidrogen.
“Target [bauran] 4,3 GW ini belum termasuk PLTS atap. Sekarang [kapasitas] PLTS atap kita baru 100 MW, total panel surya yang terinstal baru 300 MW. Bayangkan, India saja punya target 300 GW,” ujarnya di sela Solar Summit 2023, Rabu (26/7/2023).
Dilatarbelakangi misi tersebut, Arifin menyebut pemerintah akan mulai menciptakan pangsa pasar industri komponen panel surya di dalam negeri. Untuk itu, bahan baku mineral untuk panel surya pun diharapkan tidak lagi diekspor secara bebas.
“Apa yang tidak ada di Indonesia? Kita punya banyak bahan baku yang kita ekspor selama ini. Kita lagi evaluasi untuk tidak ekspor lagi, kecuali mereka mau membangun [industri panel surya] di dalam negeri,” tegasnya.
Dia pun mengungkapkan salah satu pangsa pasar yang potensial untuk investasi industri panel surya adalah Singapura. Penyebabnya, selama ini Negeri Singa banyak bergantung pada impor bahan baku dari Indonesia untuk instalasi PLTS di dalam negerinya.
“Permintaan panel surya [di Singapura] sangat tinggi. Mereka sekarang dalam fase ingin segera melakukan transisi energi fosil menjadi energi baru; yang paling cepat dilakukan adalah berasal dari tenaga surya. Namun, dia tak punya lahan. Lahannya dari tetangga. Ini jadi peluang ke depan yang bisa kita manfaatkan,” tuturnya.
(wdh)