Belakangan, rencana revisi permendag tersebut menuai sorotan dari beberapa kalangan pelaku industri, khususnya terkait dengan batasan harga barang impor di bawah US$100 yang dilarang dijual di lokapasar daring (marketplace).
Kasan menegaskan untuk saat ini Kemendag tidak membuka celah untuk melonggarkan lagi ambang batas harga tersebut, maupun menganulirnya dari revisi aturan yang akan segera diterbitkan.
“Kalau sudah [proses] harmonisasi, ya sudah. Itu saja,” tegasnya.
Dia pun memastikan pemerintah tidak bermaksud melarang penjualan barang asing di platform dagang-el melalui revisi permendag tersebut. Niat pemerintah adalah meregulasi agar perdagangan lintas batas secara daring tidak mematikan daya saing produk lokal, khususnya produksi UMKM.
Terkait dengan masukan pengusaha bahwa penerapan hambatan tarif akan lebih efektif melindungi UMKM ketimbang penetapan batas harga barang, Kasan mengatakan Kemendag tidak menutup mata terhadap usulan tersebut.
“Itu kan alternatif yang diusulkan ya. Menurut saya, cara menerjemahkannya saja. Kami bukan melarang. Silakan mau ambil barang dari luar, sepanjang itu harganya minimal US$100. Kalau mau yang dibawah harga itu termasuk, ya berarti konvensional [ambil produk lokal saja]. Itu kan opsi,” ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE) Sonny Harsono berpendapat memblokade penjualan barang impor murah di platform dagang-el justru akan menjadi bumerang bagi UMKM lokal. Apalagi, jika barang tersebut tidak diproduksi di dalam negeri.
Sonny menilai larangan menjual barang impor di bawah US$100 di platform dagang-el hanya akan memicu praktik impor ilegal. Pedagang atau akan importir akan tetap mencari celah untuk menawarkan barang tidak sesuai ketentuan, selama permintaan di dalam negeri atas produk-produk tersebut masih tinggi. Walhasil, misi pemerintah untuk melindungi UMKM dari serbuan produk impor justru akan menjadi bumerang.
Untuk itu, dia menyarankan pemerintah menyesuaikan beberapa alternatif kebijakan yang dapat ditempuh pemerintah. Pertama, pemerintah dapat mewajibkan platform lokapasar pelaku transaksi impor untuk juga memfasilitasi ekspor lintas negara, dengan catatan volume transaksi ekspornya harus lebih tinggi dari impor.
Kedua, bea masuk (BM) untuk transaksi impor di platform dagang-el dinaikkan dari 7,5% menjadi 10%, ditambah dengan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% dan pajak penghasilan (PPh).
Dengan demikian, menurut Sonny, harga barang impor di lapak daring pun tidak akan dijual terlalu murah, sehingga barang dalam negeri –khususnya buatan UMKM– bisa tetap kompetitif.
Ketiga, pemerintah sebaiknya melakukan penyaringan (screening) terhadap platform dagang-el lokal yang tidak memfasilitasi transaksi lintas batas. Tujuannya, jelas Sonny, agar setiap barang yang dijual telah dilengkapi dengan bukti importasi.
“Sebut saja barang-barang elektronik dan aksesorinya seperti case atau charger ponsel, kosmetik, obat-obatan, maupun suplemen dan vitamin. Kemungkinan besar, barang-barang impor tersebut akan sulit untuk diawasi; apakah mereka memenuhi syarat kepabeanan, dengan membayar bea masuk atau pajak sesuai dengan jenis dan nilai barangnya. Sebagai dampaknya, negara kehilangan potensi pendapatan dari pajak,” ujarnya.
Keempat, pemerintah sebaiknya melakukan kunjungan ke “kampus-kampus” UMKM yang diprakarsai oleh platform dagang-el, guna menjelaskan secara mendalam manfaat dari transaksi ekspor lintas batas bagi pelaku UMKM di Tanah Air.
(wdh)