Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Bakal calon presiden (capres) Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan menilai bahwa Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) perlu direvisi. Khususnya soal pasal-pasal karet yang ada di dalamnya. Dia menilai UU tersebut kerap digunakan untuk membungkam kritik yang dilayangkan kepada pemerintah.

"Menurut saya tidak boleh itu dan bahkan kalau perlu kita harus melakukan revisi terhadap pasal-pasal karet yang bisa membuat kebebasan berekspresi di Indonesia terganggu," kata Anies dalam wawancara dengan Bloomberg Technoz di Pendopo Anies Baswedan, Lebak Bulus, Jakarta, Kamis petang (3/8/2023).

Anies mengatakan, dirinya saat memimpin di DKI Jakarta juga sering mendapatkan kritik mulai dari yang wajar hingga amat kasar. Namun dia tak pernah melaporkan pihak-pihak yang mengkritik hingga mencibirnya.

"Bila melaporkan jalan rusak berujung pada pemeriksaan, ada sesuatu yang salah di sini. Bila mengkritik pemerintah kemudian kena UU ITE, itu repot kita. Jadi saya melihat, menjaga ruang kebebasan berekspresi, menjaga ruang untuk ada kontrol terhadap pemerintah itu penting," lanjut mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Namun kata dia UU ITE seharusnya juga berisi perlindungan yang lebih kuat bagi warga negara dalam hal perlindungan data pribadi. Hal ini yang harusnya menjadi fokus. Selain itu UU ITE selayaknya memberi pasal efek jera bagi pelaku peretasan dan pencurian data. Hal ini perlu menyusul berulang kali warga Indonesia jadi korban pencurian data pribadi, mulai NIK hingga data paspor oleh para pelaku kejahatan siber.

Dia mengingatkan agar UU ITE jangan lagi dijadikan alat untuk memberangus kebebasan berekspresi. Yang perlu dihindari kata dia adalah soal ujaran kebencian.

"Kita negara modern, demokrasi. Pasal-pasal ini harus direvisi agar kita semua di dalam proses pemerintahan itu memang boleh dikontrol, boleh diungkapkan apa pun, selama bukan ujaran kebencian, tindakan kriminal, kekerasan. Selama itu tidak terjadi, ekspresi bebas," kata mantan Rektor Universitas Paramadina ini.

Oleh karena itu kata Anies, bila nanti memerintah, maka pemerintahannya yang akan mengajukan revisi terhadap pasal-pasal karet tersebut.

"Ya, menurut saya harus dari pemerintah sendiri. Dan saya melihat, pendekatannya sama, seperti yang saya lakukan di Jakarta. Tidak perlu menuntut untuk apapun yang diungkapkan pada kami yang berada di pemerintahan. Kita negara modern, demokrasi. Pasal-pasal ini harus direvisi agar kita semua di dalam proses pemerintahan itu memang boleh dikontrol," imbuhnya.

Diketahui belakangan, kasus pencemaran nama baik dilaporkan dengan menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE.  UU ITE sebenarnya sudah pernah digugat dan diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas dasar UU ini dijadikan untuk mengekang kebebasan berekspresi. Menurut Kemenkominfo, sejak diundangkan, sedikitnya 10 kali UU ITE ini digugat ke MK.

Namun Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2022 menolak uji materi ketentuan tentang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang dimuat Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Masing-masing pasal mengatur soal perbuatan yang dilarang di dunia maya. 

Pasal 27 Ayat (3) mengatur larangan "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik". 

Kemudian Pasal 28 Ayat (2) mengatur perbuatan yang dilarang, yaitu "Setiap orang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak atau mempengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan/atau antargolongan (SARA).”

MK berpandangan, keseimbangan antara kebebasan dan perlindungan individu dengan kebebasan orang lain untuk berbicara di dunia maya. Menurut MK, di dunia maya banyak pelanggaran yang tidak dapat diselesaikan lantaran tidak ada hukum yang mengaturnya. Oleh karena itu UU ini dianggap menjaga keseimbangan antara kebebasan dan perlindungan individu, keluarga, kehormatan, dan martabat, dengan kebebasan orang lain untuk berbicara, berekspresi, mengemukakan pendapat dan pikiran serta mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dalam suatu masyarakat demokratis.

(ibn/ezr)

No more pages