“Untungnya [realisasi impor beras] yang masuk sekarang ini baru 1 juta ton, di mana 500.000 ton berasal dari keputusan impor akhir 2022 dan sisanya dari keputusan 2023. Namun, dari beras 1 juta ton yang masuk itu, sebagian sudah dihabiskan Bulog untuk penyaluran bantuan sosial [bansos], sehingga cadangan beras Bulog yang dari impor per 1 Agustus tinggal 540.000 ton,” papar Dwi, yang juga Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB).
Menurut Dwi, keputusan impor beras seharusnya didasari oleh data faktual dan akurat soal produksi padi tahun berjalan. Data tersebut baru bisa diperoleh menjelang atau sekitar Agustus, di mana Indonesia telah memasuki periode panen.
Dari data produksi yang mendekati riil tersebut, lanjutnya, pemerintah lantas bisa melakukan prediksi kenaikan atau penurunan produksi secara lebih presisi. Dengan demikian, keputusan volume dan waktu importasi beras pun lebih tepat sasaran.
Pendataan Stok Sporadis
Selain produksi domestik, lanjut Dwi, data lain yang seharusnya menjadi acuan kebijakan impor beras adalah pasokan riil di dalam negeri. Permasalahannya, selama ini pendataan stok beras nasional dilakukan secara sporadis dengan survei yang tidak konsisten.
“Untuk itu, saya sarankan segera berikan dana yang memadai kepada BPS [Badan Pusat Statistik] untuk menyurvei stok beras secara bulanan. Kalau data produksi dan stok itu bisa kita dapatkan secara akurat, maka kita bisa memprediksi pangan kita aman atau tidak. Kalaupun kemudian diputuskan impor atau tidak, dengan tegas kita bisa lakukan tanpa ragu,” jelasnya.
Dia menambahkan keputusan impor beras yang ditempuh berdasarkan data yang akuntabel juga tidak akan mencederai petani lokal, sebagaimana kerap dikhawatirkan pemerintah saat mengambil kebijakan pengadaan luar negeri.
“Petani tidak ada masalah kalau harus impor, tetapi datanya harus dihitung yang benar. Jangan tiba-tiba saat Desember ada impor 500.000 ton, atau impor masuk saat panen raya. Sama juga tahun ini, impor diputuskan Maret hanya karena takut El Nino. Ya enggak bisa lah,” tegasnya.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi sebelumnya mengatakan, dalam hal penjagaan stok dan harga beras, pemerintah sudah menugaskan Bulog menyerap 2,4 juta ton beras –yang mayoritas harus berasal dari dalam negeri– atau naik dari realisasi tahun lalu sebanyak 990.000 ton.
“Sumber pertama harus berasal dari dalam negeri. Kita harus menjaga [serapan] di tingkat petani dan inflasi di hilir [konsumen] dengan baik, karena itu akan memengaruhi daya beli masyarakat,” ujarnya, awal pekan.
Dia melanjutkan, Presiden Joko Widodo telah memandatkan agar cadangan pangan pemerintah (CPP) mencapai 1 juta ton dalam satu bulan ke depan. Sampai dengan saat ini, dia mengatakan CPP yang dikelola BUMN sektor pangan telah mencapai 800.000 ton.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Juli 2023, rata-rata harga beras kualitas premium di penggilingan mencapai Rp11.537/kg, naik 0,11% secara month to month (mtm) dan 19,83% secara year on year (yoy). Beras kualitas medium Rp11.121/kg atau naik 0,37% mtm dan 22,31% yoy.
(wdh)